Menilik Kembali Alasan Asliku Memilih (dan Bertahan) di Jurusan Sastra Cina

Iya, ini unggahan yang sangat random.  Tapi tidak ada salahnya berbagi kepada dunia, 'kan?

Foto Wisuda Angga Kuliah Sastra Cina
Siapa yang sudah lulus kuliah? Saya!



Sebetulnya saya baru-baru ini sedang membaca buku self-help yang berjudul "Finding Work You Love" karya Kirk Snyder.  Ini dia kelemahan terbesar saya ketika membaca buku-buku motivational seperti ini, saya tidak bisa menghabiskannya dalam sekali duduk. Buku-buku seperti ini memiliki banyak pertanyaan yang diajukan secara tersurat kepada para pembacanya, sehingga mau tidak mau saya harus berhenti sejenak dan memikirkan baik-baik jawaban untuk pertanyaan dari buku tersebut.

Di beberapa bab awal, buku ini meminta saya untuk memikirkan kembali alasan utama mengapa saya memutuskan mengambil jurusan kuliah yang saya tempuh selama ini.  Sebetulnya saya sudah pernah menulis hal ini sebelumnya di blog ini (baca Why I Took Chinese Literature As My Major, ditulis menggunakan bahasa Inggris).  Tapi unggahan tersebut ditulis tahun 2020 ketika saya masih menempuh perkuliahan.  Jadi menurut saya tidak ada salahnya mengenang dan menilik kembali alasan saya memiliih jurusan Sastra Cina sebagai jurusan kuliah saya, dari perspektif saya saat ini sebagai seseorang yang sudah lulus dan bekerja.

Pertama, saya cinta bahasa

Menurut saya  ini cukup self-explanatory.  Sejak kecil saya sudah terekspos kepada banyak bahasa.  Saya dimasukkan ke pre-school berbasis bahasa Inggris ketika masih menetap di Malang, kecanduan Kpop dan memelajari bahasa Korea secara mandiri sejak duduk di bangku SMP, lalu berjuang mati-matian pindah dari jurusan IPA ke jurusan IBB waktu SMA hanya demi memenuhi hasrat saya untuk belajar bahasa.

Cinta mungkin kata yang cocok karena ketika dulu masih berusia kepala satu (uhuk, itu dulu.  Sekarang saya sudah tidak semuda dulu), saya benar-benar menghabiskan hidup untuk memelajari berbagai bahasa.  Dulu pun sempat menghabiskan waktu luang memelajari bahasa Spanyol dan Yunani, tapi harus kandas karena memang bukan bahasa yang saya tempatkan pada prioritas utama.

Kecintaan dengan bahasa inilah yang membuat saya waktu lulus SMA merasa bahwa saya wajib mendalami bahasa!  Atau setidaknya masuk ke jurusan yang erat hubungannya dengan kebahasaan, seperti hubungan internasional.

Lantas apakah sejak awal saya sudah memutuskan duluan ingin masuk ke jurusan sastra cina?  Tidak.

Waktu SMP, saya memang sempat belajar bahasa Mandarin secara otodidak lewat internet karena saya adalah penggemar berat EXO-M.  Tapi itu cuma belajar secara dasar saja, dan banyak ngawurnya.  Pokoknya kalau karaoke menggunakan lagu EXO-M pelafalannya benar, sudah sampai di tahap itu saja.  Diri saya yang saat itu berusia 13 tahun tidak pernah menyangka kalau akan sedalam ini memelajari bahasa Mandarin di masa depan.

Waktu SMA, karena saya berada di kelas jurusan bahasa, saya justru terpikirkan ingin masuk ke sastra jepang (karena di SMA kami belajar bahasa Jepang dan bahasa Jerman).  Sastra korea juga masuk ke kandidat pilihan jurusan saya karena saya setia menjadi pendengar dan penganggum para oppa-oppa Korea.  Terakhir, saya juga ingin menempuh pendidikan di hubungan internasional karena semasa SMA aktif di klub debat bahasa Inggris dan jurusan ini bisa membantu saya mengembangkan kemampuan sebagai seorang debater.  Terus, kenapa kok jadinya malah masuk ke sastra cina yang bahkan tidak ada dalam daftar jurusan yang saya incar?

Tuhan pertemukan saya dengan sastra cina

Sejak SMP, saya selalu berandai-andai berkuliah tanpa harus membayar uang kuliah.  Saya ingin kuliah dengan gratis, alias mendapatkan beasiswa.  Awalnya saya pikir ya pasti kesempatan ini umumnya baru bisa didapatkan untuk nanti kalau ingin menempuh S2.  Siapa sangka, Tuhan izinkan saya langsung mengalaminya di jenjang S1.

Akhir tahun 2016, Metro TV mengadakan OSC (Online Scholarship Competition).  Lengkapnya bisa dibaca di sini ya karena saya terlalu malas menjabarkan, hehehe Metro TV Online Scholarship Competition 2016, A Prize Worth Fighting For!  Yang kali pertama melihat program ini adalah Papi.  Tidak heran, di rumah Papi memang hobi menonton saluran berita, dan Metro TV adalah tayangan yang wajib stand-by.  Iklan tentang program ini lewat dan Papi menyuruh saya mencari tahu lagi lebih banyak tentang OSC melalui internet.

Singkat cerita, waktu mendaftar saya harus memilih ingin menargetkan masuk ke universitas swasta yang mana beserta jurusannya.  Saya ingat betul, jurusan yang berhubungan dengan bahasa hanya ada dua dari semua universitas: pendidikan bahasa Inggris dan sastra cina.  Berbekal prinsip idealis saya yang benar-benar ingin memelajari bahasa secara mendalam, saya jelas memilih sastra cina.  Selain itu, di universitas yang saya pilih ini, di fakultas bahasa memang cuma tersedia jurusan sastra cina saja.  Jurusan yang terbuka untuk dipilih di OSC sebagian besar adalah jurusan dari fakultas teknik dan fakultas ekonomi.

Setelah saya timang-timang, toh tidak ada ruginya belajar bahasa Mandarin.  Waktu itu saya tidak memikirkan untungnya dan peluang yang akan saya dapatkan untuk mendapatkan kerja, yang ada di pikiran saya cuma begini: Mandarin itu salah satu bahasa dari Asia Timur.  Punya sejarah dan influensi yang besar terhadap bahasa Jepang dan bahasa Korea.  Kalau bisa Mandarin, lumayan jadi bisa belajar sedikit mengenai kanji dan bahasa Korea serapan.  Wah, ini mah sekali dayung tiga pulau terlampaui!

Ya, karena saat itu hanya sastra cina yang tersedia untuk jurusan yang murni belajar mengenai suatu bahasa, ya saya pilih sastra cina.  Saya percaya kalau Tuhan yang memang sudah atur hal ini.

Sebetulnya lebih tepat menilik kembali alasan saya bertahan di jurusan ini

Kalau ada yang bertanya kepada Angga di tahun 2024: "Kalau dulu bisa ganti jurusan, kamu mau gak?" Angga di tahun 2023 dan di tahun-tahun sebelumnya akan menjawab "Mau," lantas dua kata "Sastra jepang" akan mengikuti jawaban tersebut.  Pasalnya, saya sudah tiga tahun belajar bahasa Jepang di SMA bersama Tutik Sensei, guru favorit saya.  Lulus dari SMA, level bahasa Jepang saya setidaknya sudah mencapai N4.  Secara nalar, paling menguntungkan kalau saya masuk sastra jepang karena sudah memiliki basic yang kuat.

Tapi Angga di tahun 2024 akan menggeleng dan menjawab "Gak, yang sudah berlalu memang sebaiknya tetap seperti begitu saja."  Ya, saya merasa bahwa masuk di jurusan sastra cina ini memang sudah rencana Tuhan.  Saya sekarang sangat bersyukur bahwa dari tiga bahasa Asia Timur yang ketiganya sangat saya sukai ini, pada akhirnya bahasa Mandarin lah yang saya tekuni secara profesional sebagai karir kerja saya.

Butuh waktu tiga tahun bagi saya untuk bisa benar-benar menerima fakta bahwa bahasa Mandarin adalah bagian dari diri saya saat ini.  Sepanjang memelajari bahasa ini secara resmi di perkuliahan untuk empat tahun, saya sudah punya banyak love-hate moments dengan bahasa kuno ini.  Namun pengalaman-pengalaman itu lah yang membuat saya menjadi kuat seperti sekarang, dan akhirnya saya bisa menermukan love spot, alias rasa cinta yang tulus dalam satu bidang tertentu yang tidak akan pernah membuat  saya merasakan bosan ketika menggunakan bahasa Mandarin.

Dengan menggunakan bahasa Mandarin secara profesional pula, saya bisa lari ke bahasa Jepang dan bahasa Korea ketika membutuhkan penyegaran dan penghiburan.  Menonton anime dan mendengarkan lagu-lagu berbahasa Korea menjadi hobi yang benar-benar membuat hati senang.  Ini juga alasannya mengapa saya susah menikmati konten-konten hiburan yang berbahasa Mandarin, karena di dalam otak saya, bahasa ini sudah menjadi bahasa yang saya pakai ketika sedang berada dalam mode bekerja.

Bertahan karena dipaksa keadaan

Alasan terakhir bertahan di jurusan yang terkenal susah ini (dan memang susah, not gonna lie) adalah keadaan.  Ketika menginjak semester empat, saya merasa sangat jenuh belajar bahasa Mandarin.  Ada satu waktu ketika saya benar-benar membenci bahasa Mandarin dan justru kabur memelajari kembali bahasa-bahasa Eropa seperti bahasa Spanyol dan bahasa Jerman setiap kali saya tidak sedang berkuliah.  Saya juga pernah muntah karena melihat paragraf berita yang ditulis penuh dengan hanzi tanpa ada pinyin/alfabet roma sama sekali.  Sebenci itu.

Tapi saya sudah semester empat.  Sudah setengah jalan dari masa empat tahun berkuliah.  Istilahnya, saya sudah setengah badan basah kuyup.  Kenapa tidak dilanjutkan saja sampai sekujur badan saya basah dan saya tenggelam secara sempurna?

Godaan untuk pindah jurusan itu ada.  Banyak teman-teman seperjuangan saya yang di tengah jalan memutuskan untuk pindah ke jurusan bahasa lain atau justru ke jurusan yang tidak ada hubungannya dengan bahasa, alasannya mereka tidak kuat memelajari bahasa Mandarin karena terlalu susah.  Tapi kembali lagi ke pertanyaan awal, kenapa harus berhenti kalau sudah setengah jalan?  Kalau pindah jurusan, apa yang sudah saya pelajari selama 4 semester ini sia-sia dong karena nanti di jurusan baru harus belajar lagi semuanya dari nol?

Selain itu, saya pun juga sebetulnya tidak punya privilege untuk pindah jurusan.  Kalau pindah, saya harus bayar uang daftar ulang lagi dari awal.  Harus menghabiskan uang lagi untuk membeli modul baru.

Masih ingat OSC yang saya ceritakan di atas tadi?  Saya pun juga sudah terikat kontrak dengan OSC ini, dan malas mengurus administrasi soal pindah jurusan.

Berkat kontrak beasiswa yang mengikat ini, saya bisa melalui masa-masa gelap yang penuh dengan kebencian terhadap bahasa Mandarin ini.  Mau tidak mau, saya harus terus belajar supaya bisa lulus.  Dengan persyaratan beasiswa yang dipatok paling tinggi dibandingkan program-program beasiswa lain di kampus (wajib meraih IPK 3.76 setiap semester), saya berhasil lulus dengan IP 3.91.  Ini semua bukan karena kekuatan saya seorang diri, tapi berkat Tuhan yang selama kuliah selalu menjadi tempat saya sambat, mengeluh, dan mencucurkan air mata.

Akhirnya, tibalah saya di masa depan.  Angga yang saat ini sudah bekerja dan terus berkecimpung dengan bahasa Mandarin bahkan sampai detik ini.  Angga yang dulu sering kali mendapat pertanyaan "Orang Jawa kok belajar bahasa Mandarin?" sudah berevolusi menjadi Angga yang sering mendapatkan pertanyaan "Angga, kalimat bahasa Mandarin yang ini artinya apa?"

Foto Wisuda Angga Kuliah Sastra Cina
Memang benar ya, kalau sudah lepas dari skripsi, barulah kita bisa tersenyum lebar lagi



Berikut saya unggah beberapa foto acak semasa kuliah, hitung-hitung selebrasi kecil untuk merayakan diri saya di masa lalu.

Puisi Sastra China Kuno dari Dinasti Tang
Salah satu mata kuliah favorit saya: Sastra China Kuno

Foto Catatan Mata Kuliah Fonologi Bahasa Mandarin
Saya juga sama seperti mahasiswa kebanyakan, kalau malas mencatat tinggal difoto saja

Museum Geologi Bandung
Nikmatnya berkuliah dekat dengan pusat kota Bandung: banyak tempat untuk dikunjungi

Kerja Kelompok di Taman Belakang Gedung Fakultas Sastra
Kerja kelompok di taman belakang gedung fakultas sastra


Komentar

Popular Posts