Saya Sudah Mencicipi Rasanya Menjadi Pekerja 'Normal'. Terus Sekarang Harus Apa?

Angga dengan rambut silver.  Sebuah masa yang sering saya sebut
sendiri sebagai 'Angga cegil era'.



Sejak menapakkan diri di semester akhir perkuliahan, saya sudah tahu bahwa saya ditakdirkan sedikit berbeda dibandingkan rekan-rekan sejawat saya.

Waktu itu tahun 2020.  Paruh akhir tahun awal mula pandemi itu, ketika penyebaran virus mulai menunjukkan penurunan angka, banyak teman-teman saya yang mengambil kesempatan untuk bekerja paruh waktu atau menjadi anak magang di berbagai perusahaan dan tempat-tempat usaha.  Tentu saja, saya tidak ingin ketinggalan.  Toh beban belajar kami sudah tidak seberat tujuh semester sebelumnya.

Namun entah mengapa, yang menjadi rezeki saya adalah kesempatan untuk magang secara daring di dua perusahaan.  Salah satu magang tersebut berujung menjadi pekerjaan tetap saya selama kurang lebih 8 bulan setelah lulus kuliah.  Ah, tapi di sini yang ingin saya tekankan adalah keterangan kata 'daring' ini.

Ketiga sahabat saya di perkuliahan mendapatkan kesempatan untuk bekerja paruh waktu di kantor.  Ya, mereka harus datang secara fisik ke kantor dan bertemu secara langsung dengan rekan-rekan kerja mereka.  Sedangkan saya hanya perlu duduk manis di depan meja belajar yang ada di kost, lantas membuka laptop dan melakukan rapat melalui aplikasi konferensi daring.

Lalu waktu berjalan begitu cepat, dan setelah lulus, saya terus bekerja secara daring.

Lalu hari berganti hari, bulan silih berganti bulan.  Saya mendapatkan kesempatan kerja di bidang yang saya gemari dengan bayaran yang lebih layak.  Masih sama dengan sebelum-sebelumnya, pekerjaan ini dikerjakan secara daring pula.  Koordinasi dan rapat yang saya jalani tetap melalui layar dan mikrofon headset, namun bedanya skala pekerjaan kali ini lebih luas; melintasi batas negara dan zona waktu.

Ketika kontrak pekerjaan tersebut habis dan saya memutuskan untuk tidak memperbarui perjanjian tersebut, saya mendapatkan pekerjaan lain.  Bisa ditebak, sistemnya daring juga.  Seluruh pengalaman kerja saya dari zaman masih mengerjakan skripsi sampai tahun kedua setelah lulus semuanya daring.  Apakah dari awal saya tidak pernah berniat untuk kerja kantoran?  Tidak.  Saya justru sudah banyak mengirim lamaran begitu ada lowongan kerja yang tersedia di perusahaan-perusahaan yang sudah lama saya incar sejak kuliah.

Kalau dipikir-pikir, lucu juga.  Waktu awal lulus, saya memang harus menyelesaikan kontrak kerja dengan perusahaan saat itu, jadi ya pikir saya daripada keluar uang banyak, lebih baik kerja di rumah dulu saja.  Hasrat untuk merantau masih ada, tapi ya nanti saya akan pindah kalau sudah dapat pekerjaannya.

Eh, takdir berkata lain.  Ketika saya melamar untuk perusahaan-perusahaan yang sudah menjadi target saya itu (kebanyakan kantor mereka di Jakarta), saya justru tidak pernah dapat panggilan untuk lanjut ke tahap berikutnya.  Entah mengapa, peruntungan saya selalu di perusahaan WFH/WFA.  Alhasil, identitas sebagai remote worker sudah saya lekatkan kepada diri sendiri dan sering menjadi topik bahasan yang saya tulis di artikel-artikel saya.  Contohnya di artikel yang saya tulis di Mojok.co ini Kerja Remote Itu Nggak Selamanya Enak, yang Jelas Bikin Sakit Pinggang.


Sedikit intermezzo, potret makanan yang saya dan rekan-rekan kerja saya pesan waktu berlibur sejenak ke Ubud

Lalu ada masa-masa ketika saya memutuskan berhenti bekerja sama sekali karena merasa burn out.  Kalau orang bilang "Lucu banget, kamu kan kerjanya dari rumah, burn out apanya?"  Saya cuma bisa diam saja karena mereka tidak akan pernah tahu apa yang saya alami.  Ya seperti artikel yang saya tulis di Mojok itu, sebetulnya ada banyak sisi gelap pekerjaan remote yang jarang sekali dibicarakan di khalayak umum.  Kami para remote worker sama seperti buruh-buruh lain di Indonesia.  Kurang sejahtera, intinya.

Singkat cerita, sebetulnya ada banyak hal yang mendasari alasan saya berhenti mencari pekerjaan WFA dan mulai kembali mencari pekerjaan 'normal' yang mewajibkan saya untuk datang ke kantor dan bekerja layaknya standar karyawan dalam masyarakat.  Akhirnya, ada satu posisi kerja yang berhasil saya dapatkan.  Setelah melalui proses yang bisa dibilang singkat, saya langsung mengemas baju-baju dan pindah ke kota baru untuk bekerja di perusahaan tersebut.


Tampilan meja saya di kantor.  Iya, saya ditempatkan di bidang Finance.

Oh, ternyata begini.  Jujur saja, selama masa tiga bulan percobaan, di minggu-minggu awal saya dipenuhi oleh rasa semangat dan rasa gembira karena akhirnya bisa merasakan sesuatu yang baru.  Selama dua tahun belakangan saya selalu bekerja di dalam rumah (terkadang di kedai kopi juga) dan selalu sendirian.  Sekarang, saya memiliki meja kerja sendiri, bertemu dengan rekan kerja secara langsung tanpa perantara layar, serta harus merasakan macetnya jalanan berangkat dan pulang kerja.  Seru, pikir saya.  Tapi cuma untuk minggu pertama saja.

Toilet di ex-kantor saya.  Tempat saya sering sambat dan leyeh-leyeh menghabiskan waktu, berharap jam pulang kerja segera datang lebih cepat.


Saya tentu tidak bisa menceritakan detail pekerjaan yang saya kerjakan saat itu.  Tapi intinya, kurang dari sebulan, saya sudah merasa tidak cocok dengan posisi ini.  Ada banyak faktor yang mendasari hal tersebut.
  1. Ketidakcocokan dengan job-desk posisi yang diemban
  2. Ketidakcocokan nilai yang dianut oleh diri sendiri dengan nilai yang dianut oleh perusahaan/atasan
  3. Miskomunikasi yang terjadi mengenai informasi yang ada pada saya yang tidak disampaikan kepada atasan saya (bukan salah saya kalau yang ini)
  4. Perasaan dikekang yang hanya bisa diselesaikan jika saya keluar dari pekerjaan ini
Ya, inti permasalah saya cuma satu.  Ya memang saya tidak cocok dengan perusahaannya.  Memang benar, posisi pekerjaan itu sama-sama punya MBTI seperti manusia.  Posisi yang saya dapatkan ini sifatnya introvert sekali.  Dalam mengemban posisi ini, interaksi saya sangat terbatas, ya hanya sama orang-orang yang itu-itu saja.  Saya cuma dibutuhkan di kantor saja.  Lingkup kerjanya ya cuma di meja kerja saya itu tadi saja serta ruang rapat kantor.  Hal ini dengan cepat membuat saya bosan dan tidak betah karena sifat saya extrovert, ingin selalu mengalami hal baru setiap hari.  Saya bisa mati tercekik kalau setiap hari harus mengalami rutinitas yang sama.

Kedua, bisa berkomunikasi dengan bahasa yang sama dengan bahasa yang digunakan oleh atasan-atasan saya bukan jaminan bahwa saya bisa klop atau bisa nyaman bekerja dengan mereka.  Yah, intinya saya kurang respek terhadap beberapa nilai dan cara mereka dalam mengatur beberapa hal dalam perusahaan ini.  Tidak cocok dengan nilai moral yang saya anut.  Susah untuk menumbuhkan mutual respect karena setiap hari saya harus tunduk dan menjadi perantara antara mereka dengan karyawan-karyawan Indonesia (nah, inilah gak enaknya jadi penerjemah yang terjebak di posisi tengah yang ambigu).

Ketiga, saya sadar bahwa ternyata selama ini memang saya lebih bahagia bekerja di perusahaan remote yang sebelum-sebelumnya (yang kontraknya tidak saya perpanjang) karena pekerjaan tersebut erat kaitannya dengan 'menciptakan sesuatu'.  Intinya, pekerjaan tersebut adalah pekerjaan di bidang kreatif.  Sedangkan di kantor ini, saya tidak memiliki creative freedom, karena hal-hal yang harus saya lakukan semuanya adalah pekerjaan otak kiri, pekerjaan yang berhubungan dengan ilmu eskak.  "Ini bukan aku banget!" adalah kata yang setiap hari saya ucapkan dalam hati setiap kali bekerja.  Mungkin saya agak melebih-lebihkan hal ini, tapi tiga bulan masa percobaan tersebut rasanya seperti tiga bulan berada dalam neraka.  Seperti ada rantai besar transparan yang menahan pergelangan kaki saya.

Saya pindah ke departemen lain dan mendapatkan meja baru selama satu bulan terakhir dari masa percobaan saya.  Kalau urusan kerja, I hated even more here walaupun jenis pekerjaannya lebih baik dibandingkan dua bulan sebelumnya, haha

Secara subjektif, andaikata masalah-masalah yang saya punya dengan perusahaan ini bisa hilang, saya tentu saja ingin terus bekerja di tempat itu.  Tempatnya nyaman, kok.  Tapi lebih dari semua itu, saya sangat senang bisa berinteraksi dengan banyak orang-orang ramah dan baik yang selama tiga bulan masa yang singkat itu menerima saya dengan tangan terbuka.  Ada yang lebih muda dari saya, ada juga yang lebih tua dari saya.  Rekan-rekan kerja saya di tim Finance dan di departemen yang baru semuanya asik diajak bergaul baik di kantor maupun di luar kantor.  Apa kabar kalian semua?  Semoga sehat selalu, ya.

Saya cukup mawas diri untuk tahu bahwa pertemanan dan relasi yang baik dengan rekan kerja saja bukan dorongan yang cukup untuk bertahan di kantor yang job-desk dan inti nilai perusahaannya tidak membuat saya sejahtera.  Maka dari itu, saya memutuskan tidak lanjut bekerja di tempat itu walaupun sudah ditawari apakah ingin lanjut.  Good luck in finding another Mandarin speaker, I guess.

Dalam waktu tiga bulan itu, saya merasakan rasanya bangun pagi, berpacu dengan jam, dan menempuh macetnya jalanan kota sambil mengendarai motor saya.  Setiap pagi, ketika tubuh saya sudah hafal dengan jalanan dan saya bisa mengendarai motor dengan mode autopilot, saya selalu berdoa kepada Tuhan supaya diberi kekuatan agar bisa melalui waktu tiga bulan tersebut.

Saya juga selalu memutar lagu yang kurang lebih hampir selalu sama setiap hari.  Salah satu lagu yang menjadi penguat dan motivasi utama saya adalah lagu Songbird karya N.Flying.  Lirik lagunya dalam versi bahasa Korea sampai sekarang tidak pernah gagal membuat dada saya sesak karena terharu.  Saya tahu bahwa di luar sana, ada songbird yang akan selalu menyanyi dan mendukung setiap keputusan hidup saya.  Tapi terlebih dari itu, saya ingin menjadi seekor songbird itu sendiri.  Saya ingin terbang dan menyanyi dengan bebas.



Lantas setelah saya selesai dengan masa percobaan dan kini sudah resmi lepas dan tidak terikat hubungan apa-apa lagi dengan perusahaan itu, apa yang harus saya lakukan?  Ya kembali lagi menjadi pekerja remote.  Betul, Angga sudah sempat mencicpi rasanya menjadi seorang pekerja normal, setidaknya itulah standar pekerja umum yang dianggap normal oleh masyarakat.  Bekerja 9 to 5 di sebuah kantor, menghabiskan waktu menempuh jalanan kota, serta bersembunyi di balik topeng korporat.  Satu hal yang saya jelas bisa rasakan, saya jauh lebih bahagia sekarang dibandingkan ketika menjadi 'normal'.

So what do you have in store for the future, Ngga?

Saya akan lebih selektif untuk melamar pekerjaan.  Sebetulnya, kerja di kantor itu bukan masalah.  Tapi saya harus memastikan bahwa creative freedom dan nilai-nilai moral saya selaras dengan apa yang bisa ditawarkan oleh calon perusahaan yang akan saya lamar di masa depan.  Kalau pekerjaannya cocok dan menyenangkan buat saya, saya mau mau saja kok bekerja di kantor lagi.  Untuk saat ini, saya ingin menikmati dulu menjadi remote worker lagi.

Oh, ya.  Saya juga sebetulnya sejak dulu sudah sadar bahwa tidak bisa lama-lama berhadapan dengan banyak hal yang berhubungan dengan ilmu pasti, angka-angka, keteraturan, dan hal-hal yang mewajibkan saya untuk duduk seharian di depan komputer.  Setidaknya saya keluar dari perusahaan itu dengan pemahaman baru mengenai preferensi diri sendiri dan pengalaman yang berharga.

Tulisan mengenai masa-masa saya bekerja sebagai pekerja kantoran ini saya dedikasikan untuk Angga di masa lalu dan di masa depan.  You've went through a lot, Ngga.  All I want is for you to be happy.  Kata happy sebetulnya kurang bisa mewakilkan.  Kata damai sejahtera mungkin lebih tepat.  Nggak peduli kamu dibayar sebanyak apa pun, kalau kamu bekerja tanpa rasa damai sejahtera, buat apa?

Ucapan terima kasih yang spesial untuk para musisi yang permainan musiknya menjadi kekuatan saya melalui masa-masa terpuruk ini;

  • Seo Dongsung dari N.Flying (permainan bass-nya menggugah dan menarik senar tak kasat mata dalam hati saya, menyadarkan saya bahwa saya ingin terus bermain bass);
  • N.Flying;
  • TripleS (lagu-lagunya membuat saya tetap semangat dan percaya diri);
  • New Jeans;
  • dan yang paling spesial untuk Kirk Franklin dan Israel Houghton (yang lagu-lagunya selalu membuat jiwa dan roh saya tenang, serta menguatkan iman saya dalam Tuhan).

Potret makanan di restoran Jepang yang saya kunjungi dengan rekan-rekan kerja ketika pulang kantor di hari Sabtu

Potret kedai kopi yang letaknya di lantai satu gedung kantor, tempat saya dan rekan-rekan kerja membeli minuman ketika sudah mulai suntuk bekerja



Komentar

  1. Kita akan menemukan jalan yang selalu kita jalani. Yg pasti, hidup ini terus berjalan sampai habis masanya. Semangat terus, Angga!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terima kasih kak! Memang hidup akan terasa lebih legowo kalau kita sendiri yang menentukan jalan hidup kita alih-alih mencoba mengikuti jalan hidup yang sudah dibangun oleh orang lain. Setiap individu unik dan memiliki kisah perjalanan masing-masing. Semangat juga buat anda!

      Hapus

Posting Komentar

Popular Posts