Gegar Budaya Saya Kerja di Kantor (Dari WFA ke WFO)

 



Beberapa foto selfie random yang saya ambil waktu merasa jenuh di kantor.
Gak disangka ternyata juga menjadi jejak sejarah berubahnya warna rambut saya
selama ngantor (pirang-biru-abu-pirang)

Semenjak lulus kuliah sampai detik ini, saya selalu menjalani pekerjaan jarak jauh.  Hidup menjadi remote worker mau tidak mau menjadi pilihan saya saat itu, karena saya adalah angkatan kuliah yang harus lulus ketika covid-19 sedang marak-maraknya di Indonesia.  Sebetulnya, bisa dibilang pengalaman saya ini terhitung hoki.  Waktu semester akhir, saya dapat kesempatan magang online.  Eh, ternyata keterusan dapat pekerjaan online terus, deh.  Sebetulnya kalau mau ambil job kantoran bisa?  Tentu.  Cuma saat itu peluang yang dibukakan untuk saya adalah kerjaan online, jadi ya saya ambil saja.

Tahun lalu, saya mendapatkan kesempatan untuk bekerja dari kantor untuk sejenak.  Hitung-hitung sebagai pengalaman baru, akhirnya saya pindah ke luar kota dan menjalani hidup yang katanya orang normal ini.  Namun ada beberapa hal yang membuat saya merasa syok akibat pergantian gaya hidup WFA menjadi WFO ini.

 

#1 Ternyata ada daya tarik sendiri dari waktu dan tenaga yang dihabiskan untuk perjalanan dari/ke kantor

Sampai sekarang, saya masih berpikir bahwa keuntungan terbesar remote working adalah tidak ada kebutuhan untuk berpindah tempat ke kantor.  Hemat uang transportasi dan hemat waktu pula.  Tapi ternyata, commute dari kos menuju kantor maupun pulang dari kantor menuju kos itu ternyata ada daya tariknya tersendiri.

Tentu saja, saya bisa bilang begini karena kota tempat saya bekerja WFO (Denpasar, Bali) tidak seramai dan se-chaos Jakarta atau kota-kota besar lainnya di Jawa.  Saya tidak perlu berlari atau berebut dan berdesak-desakan di MRT.   

Commute di Denpasar minimal harus pakai motor pribadi.  Nah, ini yang saya lakukan setiap hari.  Setidaknya butuh waktu sekitar 20 menit perjalanan, jadi setiap hari saya membutuhkan waktu 40 menit di jalan untuk me-time.  Ketika saya sudah hafal rute dan bisa masuk ke mode autopilot, waktu yang saya habiskan di jalan ini ternyata bisa diromantisasi.  Saya bisa melakukan monolog, berdoa, karaokean sepuasnya, bahkan merenung dan menikmati kesibukan orang-orang lain di jalan dan gang-gang yang saya lalui. 

Keluar duit?  Iya memang, kan butuh uang untuk beli bensin dan perawatan motor.  Tapi ritual perjalanan ini tidak bisa digantikan dengan hal lain.  

 

#2 Menyesuaikan jam kerja tubuh dengan jam kantor itu susa

Keuntungan dari kerja jarak jauh ialah punya kendali untuk mengatur jadwal.  Pokoknya, asalkan kerjaan saya bisa selesai sebelum deadline, sisanya terserah.  Mau saya cicil lebih awal, bisa.  Mau saya kerjakan sekaligus supaya bisa langsung submit jauh hari sebelum deadline?  Bisa juga.  Atau saya mau jadi tim mepet sebelum jam deadline baru mengerjakan tugas?  Bisa banget, dong!  Nah, ini yang ternyata tidak bisa saya lakukan kalau kerja di kantor

Pertama, konsepnya kerja di kantor ya datang ke kantor = bekerja.  Jadi mau tidak mau harus masuk ke kantor agar absen dihitung.  Kedua, di kantor ada jam spesifik.  Jam segini harus absen masuk.  Jam istirahat pun sudah ditentukan dari jam segini sampai jam segini.  Dan di kantor saya sebelumnya, jam istirahat itulah yang harus dimanfaatkan penuh untuk makan siang dan benar-benar istirahat (tidur siang, atau keluar untuk beli cemilan/kopi).  Setelah itu tidak ada lagi waktu istirahat sampai pulang.

Karena mengikuti jadwal kantor yang sudah tertata seperti ini, tubuh saya kesusahan untuk adaptasi dan akhirnya justru makin capek.  Ya karena selama WFA, saya bisa istirahat dan bekerja kapan saja, sesuai mood dan kondisi tubuh.

Ada satu waktu ketika saya mengalami dismenorrhia (dilep/nyeri menstruasi) yang sangatttt parah ketika di kantor.  Mau izin rasanya segan (karena tubuh memang masih bisa dipakai untuk bergerak), tapi kalau tidak izin pun, rasa sakit ini memang menggangu kenyamanan ketika duduk di depan komputer.  Kalau WFA, saya bisa mengerjakan kerjaan sambil berbaring di kasur dengan posisi dan keadaan nyaman yang saya ciptakan sendiri.

 

#3 Punya skill pura-pura sibuk itu ternyata sangat penting

Ini sesuatu yang tidak pernah saya duga sebelumnya ketika jadi remote worker. Ternyata kalau kita terlihat sibuk, maka orang-orang menganggap kita sedang bekerja.  Kalau cuma duduk di depan komputer tapi tidak ngapa-ngapain dan malah sibuk pegang hape, maka kita dianggap sedang malas-malasan (padahal belum tentu, bisa juga kita kerja via hape).  Alhasil, bisa mendapatkan sindiran dan tatapan tidak enak dari rekan kerja dan atasan.

Sialnya, saya dapat tempat duduk tepat di samping manajer departemen.  Saya harus learned it the hard way kalau sebisa mungkin harus selalu terlihat produktif.  Kalau memang pekerjaan saya sudah selesai lebih awal, ya saya akal-akali dengan berlagak beres-beresin file di komputer kantor, atau membuka dokumen di kantor supaya kelihatan sedang belajar.

Salah satu rekan kerja saya yang beruntung mejanya mepet dengan tembok, tampak selalu produktif dan selalu mengetik.  Ketika saya tanya, ternyata dia bisa menciptakan ilusi sedang produktif, padahal sedang membalas chat WA teman-temannya di komputer! Oalah, intinya apa saja yang ingin saya lihat di hape harusnya saya pindahkan di komputer saja supaya saya kelihatan bekerja.  Akhirnya, buka twitter dan baca artikel pun saya lakukan di komputer kantor hehehe.

 

#4 Berinteraksi secara normal dengan manusia itu ternyata melelahkan juga

Karena sejak dulu saya paling mentok cuma pernah video conference call saja dengan kolega, rasanya agak canggung bagi saya untuk berinteraksi dengan rekan kerja secara nyata.  Pasalnya, tidak semua orang punya kepekaan dalam berinteraksi.  Sifat dan latar belakang kolega kantor pun beragam.  Ada yang bisa nyerocos tanpa tahu kapan harus berhenti, ada pula yang terlalu pendiam sehingga agak susah diajak berkomunikasi.  

Selain itu, ada banyak social cues selain berbicara saja yang bisa menimbulkan rasa nyaman atau rasa canggung.  Contohnya, gerak tubuh, ekspresi wajah, tatapan mata, dan lain-lain.  Karena terbiasa semua dilakukan secara virtual, berinteraksi dengan rekan kerja yang belum terlalu kenal dekat menjadi pengalaman yang aneh bagi saya.  Berhubungan dengan kolega dibandingkan dengan teman semasa sekolah rasanya berbeda.  Disebut teman tidak bisa, tapi disebut orang asing pun tidak bisa.  Ya cuma kolega saja.

 

#5 Lebih baik bahagia dengan standar diri sendiri daripada hidup dengan cara yang disarankan oleh orang lain.

Mari menilik kembali alasan saya mengambil pekerjaan ini.  Ketika tahu bahwa saya mendapatkan pekerjaan konvensional di sebuah kantor, tidak sedikit kerabat dan teman-teman yang memuji saya karena akhirnya saya hidup normal.  Betul, masih banyak stigma negatif yang dimiliki oleh remote worker karena pekerjaan kami bisa dilakukan dari kamar tidur.

Setelah menjalani waktu probation tiga bulan, ternyata waktu tersebut tidak cukup untuk membuat saya terbiasa dan nyaman  Ketika ditawari apakah ingin terus lanjut supaya bisa menjadi karyawan tetap, saya menolak.  Karena ya saya tidak merasakan damai sejahtera.  Saat ini, saya kembali ke kehidupan awal sebagai seorang remote worker.


Lantas, apakah ini artinya saya tidak akan mencoba mencari kesempatan untuk bekerja di kantor lagi?  Belum tentu.  Sebetulnya saya berpikir justru bekerja di kantor itu sehat karena ada pemisah yang jelas antara ruang untuk bekerja dan ruang untuk istirahat (rumah).  Kalau remote worker, terkadang batas fungsi ruang ini menjadi ambigu sehingga saya kadang merasa tidak benar-benar bekerja dan tidak benar-benar beristirahat di waktu yang bersamaan.

Tapi, untuk saat ini saya masih nyaman dengan status WFA.  Mungkin nanti di masa depan, ketika Tuhan pertemukan saya dengan kondisi kantor/perusahaan yang cocok dan nilainya selaras dengan nilai-nilai pribadi saya, mungkin di saat itu saya akan kembali mencoba menjadi seorang pegawai kantoran.  Entahlah, lihat saja nanti, ya.


Bonus, beberapa foto acak di kantor saya yang ingin saya bagikan di sini.

Langit senja dari jendela lantai dua kantor saya

Teh dari pantry, karena saat itu kopinya sudah habis dan saya butuh penghangat (ruangan kerja
tempat saya ditempatkan ACnya terlalu dingin)

Selfie di kaca gedung kantor saat malam hari sebelum pulang.
Wajib pakai rompi tebal, masker, dan kacamata karena udara malam di Denpasar
waktu jam pulang kerja penuh polusi asap kendaraan

Secara random saya dikasih telur rebus oleh atasan saya.  Niat hati
"Oke, nanti ah dimakan waktu pulang".  Saya masukkan ke tas ransel,
waktu sampai kos dan dibuka, sudah kegeprek karena kena barang-barang lain 
di dalam tas.


Komentar

Popular Posts