Tuhan Adalah Manajer Finansial Saya

Pemandangan kota Semarang dari hotel Santika di pusat kota.
Foto tidak ada hubungannya dengan unggahan kali ini.


Ya, judul yang anda baca tidak salah.  Tuhan adalah manajer finansial saya; saya pun baru menyadari hal ini setelah hidup sekian lama.

Ketika membahas hubungan pribadi antara seseorang dengan Tuhan, sudah banyak khotbah dan artikel yang menceritakan Tuhan sebagai sosok Juru selamat, Bapa, sahabat, penyembuh, penyedia (provider), guru/mentor.  Gelar yang ada dalam tajuk artikel ini erat kaitannya dengan kata 'penyedia', tapi saya merasa 'manajer finansial' adalah peran yang lebih tepat terlepas dari betapa modern gelar tersebut dewasa ini.

Saya terlahir dari keluarga yang, Puji Tuhan, berkecukupan.  Kedua orang tua saya sudah mengajarkan pengetahuan untuk mengelola uang sejak saya duduk di bangku SMP.  Saya diberikan uang saku setiap bulan; bagaimana, kapan, dan seperti apa saya menghabiskan uang saku tersebut diserahkan sepenuhnya kepada saya.  Peraturannya mudah: Kalau uang saku sudah habis sebelum hari 'gajian' bulan berikutnya, ya itu tanggungan saya sendiri.

Tentu, saya yang saat itu senang karena merasa berduit langsung menggunakan uang saku untuk membeli album Kpop.  Alhasil, saya jadi tidak bisa jajan hal lain sepanjang bulan.  Untuk urusan perut, orang tua tetap menyediakan saya makanan/bekal, pokoknya saya tidak akan diberikan uang mentah kalau belum 'gajian'.

Kebiasaan ini akhirnya membuat saya harus merasakan sendiri manis pahitnya memegang dan mengelola uang.  Saya juga sempat tergoda untuk menggunakan uang kas persekutuan sekolah yang saya pegang (saat itu saya menjadi bendahara) untuk keperluan pribadi, tapi ibu saya dengan tegas memberi tahu bahwa uang pribadi dan uang kepentingan bersama/umum tidak boleh bercampur menjadi satu.

Akhirnya saya memiliki kebiasaan untuk melakukan pembukuan dan budgeting sejak tahun terakhir di SMP.  Setiap pengeluaran saya catat, dan pada akhir bulan saya bisa melakukan refleksi: Oh, bulan ini tekor karena terlalu  banyak xxx, atau tiba-tiba ada kebutuhan tak terduga yang mengharuskan saya menggunakan nominal yang banyak.  Saya jadi memiliki kesadaran juga untuk memiliki tabungan darurat.

Mungkin sampai di sini orang-orang yang membaca kisah saya akan berpikir "Oh, jadi sejak muda sudah ada financial awareness.  Terus apa?"

Saya baru mengundang dan melibatkan Tuhan dalam kehidupan finansial saya baru ketika saya masuk kuliah.

Bukan berarti masa-masa belajar mengelola uang dari SMP sampai SMA menjadi sia-sia, tapi ada perbedaan yang signifikan ketika saya duduk dan berdiskusi dengan Tuhan sembari berkutat dengan nominal yang tertera dalam buku catatan keuangan saya.

Sistem uang saku yang diterapkan orang tua masih sama ketika saya berkuliah.  Saya mendapatkan jatah bulanan.  Jatah tersebut harus saya kelola baik-baik untuk membayar uang kos, membeli modul kuliah, membeli kuota, grocery shopping, menabung, dan lain-lain.

Here's the thing.  Doa itu adalah senjata yang sangat kuat.  Saya masih ingat doa saya ketika SMA: Ingin kuliah dengan beasiswa sehingga saya tidak perlu membayar uang gedung dan UKT.  Tuhan jawab doa tersebut sehingga saya lulus kuliah empat tahun tanpa membayar uang satu peser pun kepada pihak kampus (selengkapnya bisa baca mengenai beasiswa saya di sini).

Di setiap awal semester baru, saya berdoa agar Tuhan mampukan saya dalam segala aspek untuk bisa pulang ke rumah begitu memasuki periode libur semester.  Segala aspek yang saya maksud di sini bermacam-macam: semoga tidak ada urusan kampus/organisasi yang menghalangi rencana untuk pulang; diberikan waktu yang tepat; bebas dari segala tanggungan SKS; dilancarkan untuk beli tiket, dll.

Sungguh Tuhan Maha besar, selama empat tahun berkuliah, saya selalu bisa pulang ke rumah setiap libur semester; bahkan empat tahun berturut-turut masih bisa merayakan natal dan tahun baru bersama keluarga.  Kalau dipikir-pikir lagi, hal ini adalah sebuah anugerah besar, mengingat jarak kampus dan rumah saya yang tidak terbilang dekat (Bandung-Sidoarjo).

Dalam segi finansial, Tuhan selalu cukupkan tabungan saya untuk membeli tiket (yang harus saya usahakan sendiri dari mengelola jatah bulanan).  Tiket pesawat/tiket kereta; intinya saya selalu difasilitasi Tuhan untuk pulang.

Pandangan saya terhadap pengelolaan uang pribadi menjadi lebih rumit ketika saya resmi lulus dan menjadi seorang pekerja.  Dengan jumlah uang yang secara signifikan jauh lebih banyak dibandingkan masa-masa kuliah, muncul pula rasa tanggung jawab yang lebih besar untuk mengatur pemasukan dan pengeluaran.

Sebetulnya saya beberapa hari lalu iseng membaca-baca ulang buku-buku keuangan saya zaman kuliah dan zaman tahun-tahun awal mulai bekerja.  Jelas terlihat ada 'kematangan' dalam menghabiskan uang dan mengatur skala prioritas dibandingkan dengan diri saya yang dulu.

Dada saya secara instan terasa hangat ketika saya menemukan banyak tulisan-tulisan di luar nominal-nominal angka yang isinya adalah curahan hati dan harapan saya secara finansial.


Lucunya, saya jadi tahu kenapa sebutan 'manajer finansial' ini saya rasa paling pas, ya karena saya sendiri pernah punya pengalaman bekerja di departemen finance sebagai asisten manajer.

Saya tidak bisa memberikan semua bukti foto tulisan-tulisan harapan finansial saya, tapi melalui tulisan-tulisan tersebut, saya sadar bahwa ternyata selama ini itulah yang saya lakukan berdua dengan Tuhan: duduk di depan buku keuangan untuk mengatur dan berdiskusi mengenai keadaan finansial saya.

Tuhan, pengen gajiku menyentuh angka xxxxxxxx
Rencana mau beli xxxx dan xxxx
Sangguh gak ya dengan kemampuan saat ini untuk ambil cicilan xxxxx?

Dan masih banyak lagi pertanyaan maupun keinginan saya dalam segi keuangan kepada Tuhan.  Hal-hal ini tidak langsung saya potong/buat anggarannya, tetapi saya kasih tahu dulu saja ke Tuhan.  Literally sama seperti ketika saya bekerja menjadi asisten manajer tahun lalu: saya buat dulu proposalnya, lalu ajukan ke Tuhan.  Kalau Tuhan approve, pasti akan dibukakan jalan.  Kalau tidak approve, pasti ada saja hal-hal yang membuat rancangan finansial itu batal terjadi.

Setiap pagi, salah satu permintaan yang selalu saya utarakan ke Tuhan ketika berdoa adalah pemintaan untuk diberikan hikmat dalam mengatur finansial.  Secara manusia, jelas saya masih harus banyak belajar; saya bukan lulusan akuntansi/ekonomi, tidak terlalu banyak tahu mengenai teori atau ilmu-ilmu keuangan, masih pemula dan mencoba meraba-raba dalam bidang investasi, dll.

Meskipun secara harfiah cara yang saya pakai untuk mengelola uang belum tentu yang terbaik, saya sampai saat ini sangat berkecukupan karena memiliki manajer finansial yang terbaik dari yang terbaik.  Manajer yang juga adalah 'sang penyedia', yang selain berkuasa memberikan berkat dalam bentuk materi, juga berkuasa untuk memberikan berkat dalam bentuk damai sejahtera.

Every time I have a plan or vision on how to spend or use my money, I ask God first.  I delivered my 'proposal' to Him.  He knows better, so all I have to do is just wait for His answer.  Whether it's approved or not, I'm going to execute/organize my money according to His will.

Saat ini saya sedang bergumul untuk membeli sebuah barang elektronik.  Proposal sudah saya ajukan ke Tuhan, dan masih terus saya bawa dalam doa.  Tuhan belum memberikan jawaban.  Ya, terkadang memang ada saat-saat ketika saya merasa Tuhan seperti radio silent terhadap salah satu permintaan finansial saya yang spesifik.  Ya sudah, saya tunggu saja jawabannya.  Asisten baru bisa bergerak kalau manajer memberikan titah/arahan.  Mohon dukungan doanya juga, ya!  Hehehe.

Omong-omong, ide tulisan ini muncul karena beberapa minggu lalu ketika saat teduh saya mendapatkan banyak pesan untuk tidak terikan dengan materialisme dunia.  Berikut saya bagikan beberapa ayat yang 'menohok' hati saya:

Matius 22:21
Jawab mereka: "Gambar dan tulisan Kaisar."  Lalu kata Yesus kepada mereka: "Berikanlah kepada Kaisar apa yang wajib kamu berikan kepada Kaisar dan kepada Allah apa yang wajib kamu berikan kepada Allah."

Ayat ini datang menghapiri saya ketika hati saya sempet dongkol karena gaji saya terpotong lumayan banyak untuk urusan pajak kepada pemerintah.

Lukas 18:22
Mendengar itu Yesus berkata kepadanya: "Masih tinggal satu hal lagi yang harus kaulakukan: juallah segala yang kaumiliki dan bagi-bagikanlah itu kepada orang-orang miskin, maka engkau akan beroleh harta di sorga, kemudian datanglah ke mari dan ikutlah Aku." 

Judul perikop untuk ayat ini adalah 'Orang Kaya Sukar Masuk Kerajaan Allah'.  Percuma melakukan segala Firman Allah dan melayani-Nya, tapi masih terikat dengan rasa cinta terhadap benda material.

1 Timotius 6:10
Karena akan segala kejahatan ialah cinta uang.  Sebab oleh memburu uanglah beberapa orang telah menyimpang dari iman dan menyiksa dirinya dengan berbagai-bagai duka.

Money is indeed a great servant, but a terrible master.

Kemantapan hati untuk menuliskan hal ini agar dijadikan unggahan blog timbul karena dalam sesi sharing di ibadah Young Professional, temanya mengangkat soal hubungan antara manusia dengan uang.  Saya sempat mikir kok pas banget ini topiknya dengan apa yang ada di benak saya?  I think it is a sign from God to actuallly write/talk about this topic.

Melalui testimoni nyata ini, saya mengajak para pembaca untuk mengundang Tuhan dalam kehidupan finansial pribadi masing-masing.  God is the greatest financial manager ever in the whole universe, trust me, you won't find anyone better than Him.

Sudahkah anda duduk berdua dengan Tuhan dan berdiskusi mengenai rencana finansial anda untuk satu bulan ke depan?

Komentar

Popular Posts