Dilema Seorang Pekerja

 Sebuah tulisan spontan.  Ditulis langsung di laman write a post situs Blogger.com alih-alih di lembar Word.


Selalu ada kata bosan dalam setiap perjalanan hidup manusia.  Bosan menjadi mahasiswa; bosan menyukai orang yang sama; bosan melewati dua-tiga tempat itu; bosan berhubungan dengan mereka; dan bosan-bosan lainnya.  Bosan bekerja mungkin menjadi masalah utama yang dialami oleh hampir sebagian besar rekan-rekan sebayaku.

Bosan ini tiba ketika aku tahu apa bahwa pekerjaanku tidak membuatku bahagia.  Bisa mengerjakan sesuatu itu memang menjamin pekerjaan selesai, namun belum tentu membuat kita bahagia.  Apalagi kalau kita tidak bisa melakukan pekerjaan itu, jelas lebih tidak bahagia.  Namun ada yang menggemari tantangan, dan ada yang lebih suka berjalan melalui hutan apabila mereka sudah memiliki peta hutan tersebut.

Bosan terhadap pekerjaan tiba terlebih lagi ketika ada minat dan hobi yang kembali menggerogoti tubuh.  Minat baru, hobi baru, atau bahkan minat lama dan hobi lama yang nyala apinya kembali membesar.  Ketika kita menemukan kebahagiaan dari melakukan hal lain di luar pekerjaan, timbul rasa benci terhadap pekerjaan yang saat ini.  Timbul pertanyaan dan perandaian untuk banting setir dan mencari pekerjaan baru yang berbeda dari sekarang.

Namun, bukankah ini yang namanya hidup?  Manusia tidak pernah puas.  Realita harus dihadapi.  Aku mengeluh kepada Tuhan betapa membosankannya pekerjaanku saat ini, tapi pantaskah aku bersungut-sungut?

Ini kenyataannya.  Banyak orang di luar sana tetap bekerja walau dilanda kebosanan dan tidak bahagia.  Ada perut yang harus diisi makanan, ada manusia dan hewan-hewan di rumah yang harus dihidupi.  Teringat aku akan orang tuaku yang terus bekerja walau pulang membawa berbagai cerita pahitnya kehidupan kerja yang mereka jalani.

Namun, egoiskah aku jika memang tulus ingin mencari pekerjaan yang membuatku bahagia?

Bersyukur jelas bukan obat untuk meredakan kebosanan, tapi setidaknya bisa menjadi sebuah pengingat agar aku tidak memandang enteng pekerjaan yang sedang kujalani.  Lihat sekelilingmu, lihat di bawahmu.  Persaingan makin ketat, namun kesempatan dan posisi hanya ada sedikit.

Bukankah kamu cukup beruntung untuk memiliki pekerjaan di masa-masa seperti ini?  Ketika tidak puas, lihatlah ke bawah dan sadarlah bahwa ada yang memiliki gaji lebih rendah dibandingkan dirimu.  Lihatlah ke bawah lagi untuk menemukan bahwa ada yang gajinya tidak setara dengan pekerjaan yang mereka lakukan, namun tetap mereka ambil.  Lihat ke bawah lagi, ada banyak orang yang masih terus mencari pekerjaan.  Lihat turun lagi, masih ada orang yang bergantung pada orang lain untuk hidup.  Terus ke bawah lagi, ada orang-orang yang hanya mengandalkan belas kasihan orang lain untuk hidup.  Teruslah lihat ke bawah, sampai lehermu patah karena menekuk terlalu dalam; sampai engkau melihat orang paling malang yang ada di lantai kehidupan yang paling dasar.

Bosan.  Bosan ini semakin diperkuat ketika aku berjumpa dengan bos yang tidak pengertian.  Para atasan yang tidak tahu perjuangan dan lelahnya berada di bagian bawah, dan menuntut banyak hal tanpa memandang pekerjanya sebagai seorang manusia.  Mungkin bosan inilah yang menjadi perasaan krusial untuk mengingatkan diri sendiri bahwa aku adalah gumpalan daging dan tulang yang memiliki hati dan perasaan alih-alih sebuah robot pekerja yang tinggal dibuang jika tidak berguna.

Pulang tepat waktu, prinsipku.  Aku tidak peduli cibiran dan pandangan kolegaku.  Tidak sopan, katanya.  Loh, asal tidak dilarang dalam peraturan perusahaan, maka apa salahnya?  Mereka yang terikat norma sosial tak tertulis hanya demi terlihat 'sopan' dan 'tidak melangkahi senior' rasanya seperti hidup namun kakinya terikat rantai besi transparan.  Kalau aku memiliki pilihan untuk menyeimbangkan kehidupan pekerjaan dan kehidupan pribadiku, maka apa pedulimu?

Namun, kebosanan masih bisa menghampiri.  Hatiku miris melihat mereka yang bisa melakukan apa yang mereka suka.  Andai uang bukan kendala, ada banyak hal yang ingin kulakukan.  Andai waktu bukan kendala, ada banyak hal yang ingin kulakukan. Andai... andai... dan ribuan pengandaian datang terus tanpa henti.

Menjadi seorang pekerja di usiaku memang membingungkan.  Di satu sisi, aku yakin tidak ingin mengabdi berpuluh-puluh tahun di sini.  Aku ingin berkembang, ingin menjelajahi banyak tempat dan bidang keahlian.  Di satu sisi, pekerjaanku bak menjadi identitasku untuk sementara ini.  Pekerjaanku menjadi topik yang dibahas ketika aku berkumpul dengan teman-teman sebayaku.  Pekerjaanku menjadi salah satu kalimat yang menjelaskan diriku ketika berkenalan dengan orang baru.

Namun aku tahu, bahwa akan selalu ada hal baru di masa depan.  Entah di pekerjaan saat ini, atau di pekerjaan yang akan datang.  Tak ada yang tahu rencana Tuhan, dan sering kali Ia membuka kesempatan baru yang tidak terpikirkan oleh manusia.  Aku yang saat ini hanya sedang mengalami kebosanan karena tidak bisa melihat rencana yang Ia tulis untukku.  Tak ada yang tahu apa yang akan terjadi di masa depan, kecuali Bapa.

Kalau aku mengalami kebosanan, artinya pegangan tanganku kepada Bapa harus makin kuat.

Komentar

Popular Posts