[Book Review] How To Respect Myself, Teman Lama Pelipur Lara

Buku ini lumayan sering saya lihat mampir di laman search dan muncul di postingan-postingan rekomendasi buku oleh para bookstagrammer atau studygrammer.  Rasanya memang akhir-akhir ini semenjak pandemi berlangsung, banyak orang-orang seusia saya yang lagi kegandrungan membaca buku self-help atau self-motivation supaya mental dan psikologisnya tetap sehat di masa-masa yang sebetulnya sangat tidak sehat seperti sekarang ini.



Judul        : How To Respect Myself/Seni Menghargai Diri Sendiri

Penulis     : Yoon Honggyun

Penerbit    : TransMedia Pustaka

Terbit        : 2020, cetakan kelima 2021

Halaman    : 342 halaman


Karena saya sudah beberapa kali melihat buku ini di feed Instagram, saya awalnya biasa saja dengan judul dan premis isi bukunya.  Tapi ketika main ke toko buku dan melihat fisik buku ini secara langsung, saya malah tertarik dengan warna dan cover gambarnya.  

Warnanya pastel, two-tone, tipikal gaya yang zaman sekarang dianggap minimalis tapi estetik.  Selain itu, gambar satu kursi di tengah-tengah cover buku ini juga menggelitik mata saya.  Desain sampulnya tidak terlalu dipenuhi kata-kata atau kalimat dengan font besar-besar seperti buku self-help zaman dulu, tapi tidak terlalu dipenuhi gambar juga seperti buku kepribadian untuk anak-anak.  Intinya sih, desainnya pas.  Akhirnya saya beli juga karena penasaran.

Hm... bagaimana memulai postingan tentang ulasan buku ini ya?  Pasalnya jujur ini kali pertama saya membaca buku self-development.  Itupun kalau buku Marie Kondo tidak dihitung sebagai buku self-development.

Buku ini memiliki fokus utama terhadap 'harga diri' 'perasaan manusia' dan 'diri sendiri'.  Memang buku ini benar-benar memiliki acuan jelas untuk mengubah pola pikir mengenai diri sendiri.  Sebagian besar isinya mengajak kita untuk melatih pikiran dan memanifestasi pandangan/opini-opini baik mengenai diri sendiri.  Ada pula beberapa tips dan saran untuk meningkatkan kesejahteraan diri sendiri, seperti mengubah pola tidur dan pola makan.

Secara garis besar dan secara berurutan, buku ini memiliki konten sebagai berikut;

  1. Menjelaskan mengenai apa itu harga diri dan bagaimana harga diri mempengaruhi kehidupan kita
  2. Harga diri dalam hubungan asmara
  3. Harga diri dalam hubungan manusia
  4. Perasaan-perasaan yang menghambat harga diri
  5. Kebiasaan yang harus dibuang untuk memulihkan harga diri
  6. Hal-hal yang harus ditaklukan untuk memulihkan harga diri
  7. Praktik untuk mengungkit harga diri


Jujur saja, sebetulnya ada banyak nasihat dan quotes-quotes overrated yang sudah sering kita dengar dalam kehidupan sehari-hari.  Pesan-pesan seperti 'prioritaskan dan cintai dirimu apa adanya'; 'akui perasaanmu alih-alih menolak dan berpura-pura'; 'ambil waktu untuk memahami diri sendiri' dan sejenisnya banyak bermunculan dalam isi buku ini.

Bagi saya, mendengar saran-saran overrated ini menyebabkan saya mudah bosan dan mengantuk selama membaca, karena tidak mendapatkan hikmat/revelation baru.  Namun sisi baiknya, keberadaan buku ini terasa seperti seorang penasehat yang gemar mengingatkan kita mengenai hal-hal basic yang seharusnya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari.

Poin kelebihan lain dari buku ini adalah inti setiap bab yang selalu dikemas dengan cerita-cerita relatable.  Dalam hal percintaan, menghadapi emosi, dan menghadapi orang lain; cerita-cerita ini sering dialami oleh banyak orang dan sang penulis juga memberikan solusi yang baik serta menganalisis awal mula terjadinya masalah tersebut.  Well, mengingat penulisnya adalah seorang dokter kejiwaan, hal ini tidak mengherankan.

Di akhir setiap bab, ada task kecil yang bisa kita lakukan untuk melakukan refleksi diri.  Jujur, saya paling tidak sabar untuk sampai di akhir bab karena saya suka menjawab pertanyaan-pertanyaan yang tersedia.  Sudut kegiatan kecil ini sangat membantu untuk memahami diri sendiri lebih dalam.

Tidak seperti buku fiksi dan buku sejarah, membaca buku self-improvement tidak bisa dikebut.  Saya merasa kalau memang mau meningkatkan kualitas diri sendiri dengan membaca buku, ya kita harus memaknai dan benar-benar memahami makna di tiap bab.  Hal inilah yang membuat saya lambat membaca buku ini.  Saya beli bulan Maret, tapi baru selesai bulan Agustus.  Hal ini terjadi karena biasanya setelah selesai membaca satu bab/satu bagian, saya menutup buku dan merenung dulu.  Apakah saya sudah melakukan hal tersebut di kehidupan nyata?  Apakah memang hal itu respon yang baik?  Wah, intinya sih terkadang masa-masa 'memahami dan merenungkan isi buku' ini kadang-kadang justru menjadi sesi overthinking yang sebetulnya agak buruk untuk diri sendiri.

Di satu sisi, saya bangga karena saya memang sungguh-sungguh berusaha merenungkan, memahami, dan mempraktekkan isi buku ini.  Tapi di sisi lain, saya kesal karena buku ini tidak bisa saya selesaikan dengan cepat.

Nah, jadi bagaimana pendapat saya setelah AKHIRNYA menyelesaikan buku ini?  Well, buku ini jelas membantu, tapi saya tidak akan bilang WOW INI SANGAT MEMBANTU, SANGAT BERGUNA!  Karena kenyataannya banyak nasehat-nasehat umum yang sebetulnya kita semua sudah tahu tapi diingatkan kembali di buku ini.  Buku ini worth it kok untuk dibaca, karena menurut saya memang keberadaannya seperti teman lama yang mengelus punggung kita ketika kita sedang lelah pikiran.

Ada banyak kutipan-kutipan bagus di dalam buku ini, cocok untuk pembaca yang hobi memotret quotes dan posting di Instagram hehehe.
Rating pribadi dari saya?  6 out of 10.  It is a good book, terutama bagi orang-orang yang pola hidupnya slow life.

Satu hal yang akan selalu saya ingat dari buku ini adalah pelajaran untuk dapat mengakui perasaan yang tengah melanda kita dan mengatasinya dengan ketenangan dan kepala dingin.  Yup, admitting your weaknesses is an admirable thing instead of dwelling in your own denial.

Komentar

Popular Posts