[Book Review] Tunangan, Pelopor Cerita Mainstream Masa Kini

 



Tunangan, karya Arini Suryokusumo


Beberapa bulan lalu, saya mendapati sebuah quote di Instagram yang berbunyi: “People should realize that reading book and buying book are two completely different hobbies and they’re not necessarily correlate to each other.”  Saya merasa tertampar dengan kalimat ini.

Sejak kecil saya suka membaca berkat orang tua saya yang selalu memberi suplai buku bacaan.  Komik, majalah, buku cerita, fabel, ensiklopedia bergambar, dan lain-lain.  Saya tumbuh menjadi seseorang yang gemar membaca, ya karena lingkungan dan sumber yang dibaca tersedia.

Sekarang ketika saya sudah berkuliah dan sudah tidak tinggal seatap dengan orang tua, yang bertanggung jawab atas hobi ini tentu diri saya sendiri. 

Sebetulnya dari dulu juga saya sering membeli buku sendiri, tapi karena sudah tidak di rumah, rasanya ada kebebasan lebih.  Saya bisa membeli buku apa saja dengan rating apa saja; tidak perlu melalui screening atau perizinan orang tua (fyi, ada buku-buku rating dewasa yang tidak diperbolehkan untuk saya baca, tapi ini dulu sih).

Semenjak kuliah saya berinvestasi lebih banyak untuk membeli buku dalam bahasa Inggris, nggak tanggung-tanggung, saya hobi belanja di kinokuya atau periplus.  Ada kebanggaan sendiri ketika membeli buku dan menambah koleksi di rak.  Namun fakta menyedihkannya, buku-buku yang saya beli itu banyak yang belum saya baca sama sekali.  Jangankan dibaca, ada yang plastik pembungkusnya juga belum dibuka.

Ketika sisi rasional saya melakukan introspeksi diri "Kok bisa ini belum dibaca?" Akan ada sisi lain dari diri saya yang mengelak "Sibuk gak ada waktu, blablabla" diiringi dengan ribuan alasan lain.  Padahal seharusnya kalau memang membaca udah menjadi rutinitas yang mendarah daging, alasan tidak punya waktu itu bak tindakan seorang pengecut.  Ternyata oh ternyata, memang saya rasanya memiliki hobi membeli buku, bukan membaca buku.

Tahun 2020 lalu kemarin, saya memililki goal yang kelewat ambisius: "Tidak membeli buku baru alias menuntaskan dulu baca semua buku yang ada di kos/rumah!” Tentunya tujuan yang bagi saya kurang realistis ini tidak terwujud karena godaan untuk membeli buku banyak sekali, terutama kalau sahabat anda sering minta ditemani ke toko buku.

Saya beberapa minggu lalu memutuskan untuk merapikan rak buku yang ada di rumah karena tampilan di dalamnya sudah kelewat berantakan; mainan dan boneka-boneka pajangan bercampur aduk dengan buku-buku.  Setelah melakukan sortir dan penataan ulang, sebuah buku jadul menarik perhatian saya.  Usut punya usut, ternyata buku tersebut adalah buku yang dibeli ayah saya sebagai hadiah kepada ibu saya ketika mereka berdua masih di bangku kuliah.

Bukunya tidak terlalu besar, tidak tipis dan tidak tebal, fontnya pun besar-besar.  Ketika saya lihat, ternyata buku tersebut terbit tahun '89, namun yang saat ini saya pegang adalah cetakan ketika yang dicetak tahun '92.  Pikir saya, wah pasti isi buku ini bagus dan penjualannya laris ya kalau sampai dicetak untuk kali ketiga.



Di halaman awal sudah diberikan blurb mengenai isi buku.  Gatot dan Andina, dua sahabat masa kecil yang selalu ribut dan bertengkar kalau bertemu.  Di usia mereka yang masih menempuh bangku SMA, mereka harus bertunangan untuk memenuhi keingian orang tua mereka.  Pertunangan ini dirahasiakan, dan hanya ada beberapa orang di sekolah yang mengetahui hal ini.  Gaby, seorang siswi yang berada satu kelas dengan Gatot, mulai menaruh hati pada laki-laki itu dan berniat untuk menjadikannya pacar.

Dari awal saya sudah cringe duluan karena premise ceritanya mirip sekali dengan cerita-cerita wattpad yang banyak berseliweran di beranda saya.  Pertunangan/perjodohan dini, benci jadi cinta, persaingan percintaan, dan sebagainya.  Hanya saja, alih-alih tokoh wanita, yang diperbutkan di sini adalah si cowonya.

Gaby yang ternyata memiliki ketidakstabilan kejiwaan yang tidak jelas (intinya ada dokter dan dia sering stres karena urusan rumahnya berantakan) nekad berbuat ha-hal gila untuk menyingkirkan Andina.  Mulai dari berusaha menabrak gadis itu pakai mobil, sampai mengkonfrontasi langsung dan menusuk perut Andina dengan pisau.

Iya, pasti kalian sudah bisa menebak.  Gatot selalu ada untuk menolong tunagnannya tersebut, yang jelas membuat Gaby makin kalap.  Tapi ujung-ujungnya jelas Gatot akhirnya menyadari bahwa ia mencintai Andina dan keduanya akhirnya saling mengakui perasaan yang ternyata selama ini berbalas.  Keduanya mengukuhkan kembali hubungan pertunangan mereka di hadapan kedua orang tua mereka.

Kelebihan buku ini? Ringan, bisa dibaca secara cepat, banyak bahasa gaul khas tahun 70/80an yang menyegarkan untuk dibaca.

Kekurangannya?  Alur mudah tertebak dan klise, banyak adegan filler yang tidak mendukung plot utama cerita, porsi narasi dan percakapan tidak seimbang.  Terlalu banyak percakapan, jadi mata bisa capek karena terlalu banyak tanda petik dua dalam satu halaman.  Ohya, sebetulnya main star of the show ya cuma Andina, Gatot, dan Gaby; tapi terlalu banyak karakter sampingan yang bermunculan di buku ini yang tidak memiliki peran berarti dalam cerita.

 


Skor saya untuk buku ini?  3 out of 10.

Menilik lagi tahun ketika buku ini dipublikasikan (kalau keluarga saya menyebutnya zaman ipikiplik), mungkin bisa dipahami mengapa ceritanya klise dan mudah ditebak.  Mungkin justru cerita model beginilah yang menjadi cikal bakal atau trendsetter cerita-cerita klise remaja sekarang.  Bisa dipahami, karena unsur ringan dan khas teenlit banget inilah yang menjadi daya tarik utama buku novel ini.

Komentar

Popular Posts