I'm A Rock, Please Bear With Me

Iya, ini judulnya bahasa Inggris, tapi isinya Indonesia.  Sebetulnya dari segi bahasa lebih 'nendang' pakai bahasa Korea, tapi ya sudahlah.  By the way, lagi-lagi ini adalah postingan acak yang saya tulis secara spontan di blogger.  Padahal seharusnya saya belajar untuk UAS mata kuliah penerjemahan sekarang. 

Waktu saya sedang berselancar di Youtube, ada sebuah video tentang cuplikan salah satu episode Running Man.



Topik yang dijadikan judul video memang hanya ditampilkan beberapa detik saja, namun entah mengapa perkataan Song Jihyo di sini sangat mengena sekali ke hati saya.

Jihyo, kalau kamu bisa dilahirkan kembali kamu akan menjadi apa?
Aku? (menjadi) Batu."

Jihyo dikenal sebagai orang yang susah/tidak banyak berinteraksi dengan orang-orang di luar pekerjaannya.  Ia dikenal gaptek dan sama sekali clueless terhadap tren.  Entah itu berita atau lagu/challenge yang sedang populer.  Yang membuat saya lebih terkagum-kagum?  Ia tidak mengunduh Kakao Talk di handphone-nya, kalau di Indonesia sih padanannya aplikasi Line atau WhatsApp.  Lalu bagaimana dia berkomunikasi?  Kalau tidak lewat telepon langsung ya lewat sms.  Iya, sms yang harus pakai pulsa itu.

Di Running Man episode-episode lama, banyak episode yang mengundang tamu dengan skala besar.  Ada satu episode yang mengharuskan para anggota Running Man untuk mendatangkan tamu yang mereka kenal dengan syarat tamu tersebut harus memiliki halaman profil di Naver (Google-nya Korea).  Di acara itu, dibandingan dengan anggota-anggota lain yang mengundang belasan sampai puluhan orang, tamu milik Jihyo tidak sampai sepuluh orang.

Ada lagi satu episode yang mengharuskan anggotanya menelepon artis yang mereka kenal.  Ketika giliran Jihyo dan Gary untuk maju (karena mereka satu tim), Jihyo mengeluh "Ah, temanku tidak begitu banyak."  Gary menimpali dengan mengucapkan hal yang sama, namun akhirnya mereka berhasil melewati misi tersebut.

Bagaimana kehidupan sosial kalian selama masa pandemi ini?  Let me tell you a bit about mine.

Waktu pemerintah kali pertama menyebutkan bahwa kegiatan pembelajaran tatap muka harus diberhentikan, semua masih baik-baik saja.  Saya masih berada di tanah perantauan, masih bertemu teman-teman, masih ke gereja, masih jalan-jalan.  Namun karena situasi tambah parah, saya memutuskan untuk pulang ke rumah.

Ah, saya bingung harus menceritakan dari mana.  Intinya, selama hampir tiga bulan ini, saya merasa fine-fine saja dengan social distancing dan hal-hal lainnya.  Rindu dengan teman-teman?  Jelas, namun saya tidak merasakan rindu yang amat sangat rasanya-sampai-mau-meledak-karena-di-rumah-terus.  Dibilang kangen, iya kangen.  Tapi kalau masih belum bisa bertemu ya sudah.

Dua bulan ini sangat menyenangkan karena saya memiliki waktu untuk memahami diri saya lebih dalam lagi.  Saya bukan tipe orang yang gemar memiliki chat panjang dengan beberapa orang dan membicarakan apa saja melalui telepon/chat.  Jujur, saya jarang nge-chat siapa pun kalau memang tidak ada tujuan/memang merasa sangat kangen.

Masa-masa seperti ini bisa bikin orang merasakan tekanan sosial juga, lho.  Di awal-awal ketika karantina mandiri mulai dilaksanakan, saya melihat banyak orang di story Instagram yang mengunggah percakapan seru atau pamer jam telepon yang panjang dengan teman-teman mereka.  Jelas pamer tentang "Hei, lihat nih, walaupun kita ga bisa ketemu secara langsung, kita masih tetep asik bareng-bareng!"

Atau ketika beberapa teman dalam grup percakapan mengunggah inside jokes yang mereka ciptakan sendiri di percakapan pribadi mereka, atau mengungkit tentang "chat pribadi" dalam grup besar.  Hal-hal seperti ini awalnya membuat saya iri, tapi lama kelamaan saya mikir, buat apa iri sama hal beginian?

Sama seperti Jihyo (minus gapteknya) saya adalah sebuah batu.  Saya jarang menghubungi orang lewat chat.  Nggak tahu kenapa, tapi saya lebih menantikan untuk bertemu langsung dengan orang itu dan menghabiskan quality time bersamanya.  Maka dari itu, masa-masa karantina ini memang seperti masa rehat saya dengan kehidupan sosial saya.  Saya hanya menghubungi orang ya kalau memang butuh atau memang sangat kangen saja.

Rasanya bagaimana?  Rasanya lega.  Saya menerima diri saya sendiri.  Saya menerima fakta bahwa teman-teman saya sedikit.  Beneran sedikit.  Dengan self-acceptance ini, saya merasa tenang, dan ngerasa oke-oke saja.  Malah saya berharap waktu sidang nanti jangan terlalu banyak orang yang datang dan memberi selamat.

Adakah orang-orang yang ingin saya dekati untuk menjadi teman?  Tentu ada.  Namun dengan kondisi tidak bisa bertemu secara fisik begini, saya juga jadi males dan memang bukan tipe yang melakukan pendekatan diri melalui teks.  Nanti ketika bersua, mari saling mengenal.

Dewasa ini, saya berpikir banyak kali sebelum mengunggah sesuatu di internet.  Privasi adalah 'emas' yang baru di era digital ini, dan saya juga merasa malas untuk membuka Instagram.  Saya malas mengetahui apa yang dipamerkan oleh teman-teman saya.  Takutnya kalau saya lihat, saya banding-bandingkan lagi dengan kehidupan saya.  Mending nggak usah buka sekalian, deh,  Posting hanya kalau sedang ingin saja dan bukan sesuatu yang bersifat pribadi.

Dua orang sahabat saya pernah menjadi korban scam.  Makanya sekarang saya parno kalau mau mengunggah wajah ke internet.  Takut ada orang yang menggunakannya sembarangan.

Anyway, saya sangat bersyukur dengan keberadaan sahabat-sahabat SD, SMP, SMA, dan kuliah saya yang jumlahnya bisa dihitung jari tangan.  Sedikit, namun mereka paham dengan sifat sosial saya yang seperti batu ini.  Walaupun sudah lama tidak berhubungan, kita tetap sahabat ya karena memang begitu.  Sekalinya bertemu atau ngobrol, ya rame seolah-olah kemarin masih bertemu.

Anyway, saya jadi mencurigai hasil tes MBTI saya.  Saya ENFP, tapi huruf E ini sepertinya salah.  Buktinya karantina ini tidak membuat saya 'kebelet' melakukan interaksi sosial.  Mungkin harusnya saya itu I, tapi mungkin juga berubah tergantung kondisi.  Whoever created this MBTI thing should actually consider A because ambivert exists.

Apakah kalian tim batu seperti saya?  Apakah kalian golongan #JOMO (Joy Of Missing Out) seperti saya?

Foto hanya sebagai pemanis.  Iya, emang miring ini.

 

Komentar

Popular Posts