Kuliah dan Dampaknya Terhadap Tubuhku
Sejak duduk di bangku SMA, saya sudah banyak mendengar
petuah-petuah dari kakak kelas dan guru-guru saya bahwa ‘dunia kuliah itu
keras, sangat jauh berbeda dengan kehidupanmu di SMA’. Ya, tentu saya setuju dengan hal
tersebut. Faktanya, kalau saya berkuliah
maka otomatis semua berubah. Tidak ada
wali kelas yang memperhatikan perhatian penuh pada masing-masing muridnya,
tidak ada perebutan peringkat di dalam kelas, tidak ada orang tua yang datang
ke sekolah, dan lain-lain. Kuliah adalah
babak hidup baru, ketika menempuh pendidikan benar-benar didasari oleh
keinginan dan tanggung jawab seorang individu sebagai mahasiswa.
Salah satu kakak kelas saya di SMA pernah memberikan saya
nasehat. Ia berkata “Kalau kamu kuliah,
pasti ada aja masalah.” Kalau saya
pikir-pikir, benar juga. Tiga poin utama
dalam kehidupan kuliah itu ada tiga, katanya.
Kehidupan pribadi, kehidupan sosial, dan kehidupan akademik. Konon, tidak ada mahasiswa yang mampu hidup
dengan memliki tiga poin tersebut dalam keadaan prima. Selalu ada satu yang bersinar paling terang,
atau setidaknya satu yang dikorbankan.
Kalau ada mahasiswa yang tiga poinnya ini berjalan bagus, maka ia adalah
mahasiswa langka yang susah ditemui.
Saya hanya bisa tersenyum menanggapi ironi pernyataan di
atas. Siapa yang tidak ingin memiliki
nilai A dan IPK tinggi, aktif berorganisasi, memiliki banyak teman, dan tetap
memiliki kehidupan pribadi yang baik?
Dalam kasus saya, hal tersebut nyatanya memang susah diraih. Semester lalu, kehidupan pribadi saya adalah
aspek yang jadi korban. Kehidupan
pribadi di sini berarti hubungan saya dengan keluarga, urusan mental, dan
kesehatan.
Saya bersyukur masih bisa mempertahankan IPK yang lumayan
dan masih bisa mengikuti mata kuliah dengan baik. Saya juga bersyukur karena bisa aktif
mengikuti kegiatan-kegiatan di kampus.
Namun, tubuh saya jadi taruhannya.
Sampai di kamar kost, tubuh saya lelah minta ampun. Kini saya menyadari bahwa tubuh saya lebih
membutuhkan tidur dibandingkan makanan.
Lantas, apa dampaknya? Kemalasan
di pagi hari, kantong mata, dan stamina yang menurun.
Sebetulnya di tahun pertama kuliah saya sangat rajin
berolahraga dan hal tersebut cukup efektif dalam menjaga kebugaran tubuh selama
kuliah. Hal ini juga menjadi concern saya. Ketika SMP dan SMA, setidaknya siswa dipaksa
untuk berolahraga seminggu sekali ketika pelajaran olahraga. Ketika SMA, saya sangat rajin melakukan
kardio setiap hari untuk persiapan ujian praktek (dulu ketika SMP saya
peringkat dua dari bawah ketika praktek lari jauh dan setelahnya kapok). Hasilnya, saya sempat punya abs. Yang menyedihkan dari dunia perkuliahan? No one
cares whether you work out or not.
Tidak ada kewajiban untuk berolahraga.
Yah, sikap yang diambil oleh mahasiswa memang
berbeda-beda. Saya tahu banyak teman-teman
yang mengandalkan gym membership
untuk berolahraga. Ada pula yang masih
mengusahakan olah tubuh dengan cara menggunakan tangga ketika hendak ke kelas
daripada menggunakan lift. Ada pula yang sama sekali tidak
berolahraga. Saya termasuk golongan kedua. Berusaha bergerak sebisa mungkin. Dulu waktu semester 1-2-3 memang setiap pagi
masih sempat melakukan yoga dan stretching
(jangan remehkan dua hal yang kelihatannya mudah ini!). Kini saya benar-benar tidak sempat.
Berhenti melakukan rutinitas olah tubuh secara tiba-tiba
memiliki efek langsung yang kritis bagi tubuh saya. Sistem imun melemah, sehingga ketika UTS saya
terserang infeksi saluran pernafasan.
Bukan masalah besar sekarang, tetapi masa-masa itu sangat berat untuk
dilewati. Beberapa bulan lalu, telinga
kanan saya mendadak bindeng, sampai hampir tidak bisa mendengar apapun. Setelah diperiksakan, ternyata cairan
gastritis berhasil menyumbat telinga bagian dalam saya. Hal tersebut dikarenakan pola hidup yang
berantakan; sering begadang dan tidak menjaga kesehatan lambung. Asam lambung tidak terkontrol, sehingga
terjadi fluktuasi cairan dari lambung ke saluran telinga bagian dalam.
Di satu sisi, absennya keberadaan orang tua juga menjadi salah satu faktor tubuh ini menjadi tidak begitu terurus. Di rumah ada ibu yang selalu mengingatkan untuk makan, bahkan khawatir kalau anaknya tidak makan. Ada ayah yang sigap mengantar ke klinik terdekat apabila anaknya merasa tidak enak badan. Secara material, keberadaan mereka memang berpengaruh besar, tapi ketika sudah merantau, engkau akan tahu. Bahwa sebetulnya hanya dengan melihat dan merasakan pelukan mereka, semua beban hidup bisa menguap. Hence, mungkin kehidupan kuliah akan lebih terasa ringan untuk dijalani.
Selain kesehatan, mental saya juga ikut terpengaruhi. Moody,
gampang marah, gampang menangis, gampang tersinggung. Sampai di satu titik saya pernah bertanya
pada diri sendiri, am I sane enough right
now? Karena rasanya ada banyak hal yang harus dilakukan tetapi saya tidak
bisa cope up dengan hal-hal tersebut.
Saya hanya ingin membagikan pengalaman saya kepada sesama
mahasiswa, atau mungkin kalian yang sedang membaca tulisanku ini; apapun yang
terjadi dalam kehidupan perkuliahan anda, tolong utamakan kesehatan kalian
sebagai prioritas utama. Sungguh, sakit
itu tidak enak. Sakit itu mahal; obat
dan biaya perawatannya mahal, ada waktu dan dedikasi yang harus dijalani dengan
serius, dan kondisi kita bisa mempengaruhi orang lain pula. I spent
nearly IDR two million for my treatment this semester, both for my respiratory
infection and gastritis issue. Y’all
better spend it on purchasing stuff instead of sour medicines, right? Dengan banyaknya waktu luang yang saya
miliki kali ini, saya ingin kembali berolahraga untuk menjaga kesehatan (I also miss those abs of mine).
Saya juga merekomendasikan untuk menulis (walau jelas hal
ini bukan kegemaran semua orang).
Menuliskan isi pikiran saya bisa jadi terapi yang baik untuk mengatasi mood swing, walau semester lalu
frekuensi menulis saya jauh lebih sedikit dibandingkan dulu, tapi setidaknya
masih saya lakukan. Writing is also what keeps me sane.
Jadi, apa tiga poin kehidupan perkuliahan saya bisa berjalan
dengan baik? Well, saya juga tidak
menuntut diri saya sendiri untuk hidup dengan sempurna. Tapi setidaknya saya mau memperbaiki pilar
‘pribadi’ saya. Urusan kehidupan dan
akademik bisa menunggu. Karena kalau
saya sehat, saya bisa melakukan apa saja, bukan?
Komentar
Posting Komentar