Akhirnya legal!

Ya!  Saya sudah berusia 17 tahun!  Sudah legal!

Pagi ini saya membolos sekolah.

Udah sering sih.

Nakal?  Jelas.





Ah, biarkanlah saya membolos barang sehari saja.  Toh juga saya tahu konsekuensi apa yang bakal saya dapat.  You know what, some people just need a day to free themselves from the world.  And I'm doing it right now.

Blog ini sempat terlupakan sebetulnya.  Tapi sekarang, tidak lagi!  Karena, guess what?

PASSION SAYA UNTUK MENGETIK CERITA KEMBALI LAGI!

Ya, yang mau baca bisa mampir ke Wattpad, nama user saya Anggadextrous.  Atau klik di sini.

Hanya ingin berbagi sedikit pengalaman hidup.

Semakin dewasa, saya menyadari bahwa yang paling susah untuk dikendalikan di hidup ini adalah lidah.
Iya, lidah.

Lidah untuk berbicara ini.

Sebagai jurusan Bahasa, tentu saya mempelajari banyak bahasa.
Sekaligus bahasa sumpah serapah dan kata-kata kotor.
Mengucapkannya juga bukan hal yang tabu bagi saya.  Wong cuma perkataan kan.  Kalau saya memaknainya dengan rasa marah dan jengkel, nah baru saya merasa berdosa ketika mengucapkan sumpah yang 'benar-benar' menyumpahi.

Intinya, pengetahuan akan banyak bahasa itu menjadi pedang bermata dua bagi saya.

Kalau mood lagi jelek nih ya, trus ada sesuatu hal yang bikin marah atau capek.  Rasanya tuh pengen banget misuh untuk melepaskan emosi.

Misuh dalam bahasa apa aja, pokoknya ini kepala nggak meledak karena nahan emosi.

Ya nggak?

Kemarin, Mum sempat nggak sengaja menyentuh jerawat di hidung saya.
Mungkin karena lagi sensitif, hati gelo buanget, rasanya mangkel banget.

Dan di saat itu, kepala rasanya ingin meledak.
Lidah dan tenggorokan rasanya gatal.
Ingin bersumpah.

Mungkin kalian sudah sering membaca banyak cerita atau narasi yang menceritakan bagaimana emosi seseorang itu berpengaruh ke tubuh fisiknya.
Mungkin waktu dibaca ya, yaudah gitu aja.

Tapi harus diakui, deskripsi para penulis ketika menceritakan emosi itu memang benar-benar terjadi.

Ketika menahan emosi, kepala memang rasanya berat.  Seakan-akan mau meledak.  Bom waktu.
Nafas sudah tidak teratur, dada naik turun dengan agresif.

Bagi saya pribadi, yang paling parah adalah mulut, dan seluruh anggota tubuh yang berfungsi untuk berbicara.

Lidah ini, rasanya seperti mau meloncat keluar.  Tenggorokan rasanya sesak, seperti ada yang mencekik.  Bibir ini rasanya bergerak-gerak, ingin terbuka.

Tubuh saya seolah menjerit, memberi isyarat keras pada diri saya untuk bersumpah, supaya seluruh emosi dan perasaan tertekan di sekujur tubuh itu hilang.

MEMANG, kalau misuh waktu marah itu rasanya lega, plong, enak gitu.

Tapi saya inget Firman Tuhan.
Matius 15:11

Dengar dan camkanlah: bukan yang masuk ke dalam mulut yang menajiskan orang, melainkan yang keluar dari mulut, itulah yang menajiskan orang.


Dan saya mulai berusaha untuk mati-matian menahan hasrat untuk misuh.  Apalagi misuh yang benar-benar dimaknai untuk menyumpahi orang lain.

Susah, memang.  Tapi ketika emosi kita sudah stabil dan kita berhasil tidak menyumpahi orang, rasanya itu jauh lebih lega.
Orang lain tidak tersakiti oleh perkataan kita, dan kita bisa menjadi berkat juga.

Kalau memang marah, lebih baik diam saja.  Daripada menyumpah serapah, lebih baik genggam kedua tangan, atur pernafasan, dan berdoa, 'Gusti, paringono kula kesabaran...'

Sekian postingan saya kali ini.
Oh ya, Desember saya mau Studi Kampus lho!  Pasti bakal saya posting ceritanya di sini, hehehe.

GBU!

Komentar

Popular Posts