[Book Review] Bukan Pasar Malam, Cerita Sederhana Penyayat Hati

 

Review Buku
Bukan Pasar Malam karya Pramoedya Ananta Toer

 


Sosok Pramoedya Ananta Toer (selanjutnya dipanggil PAT dalam unggahan ini) adalah penulis yang akrab di telinga saya, terutama karena karya-karyanya sering dibahas dalam forum pertukaran budaya antara Indonesia dan Tiongkok.  Beliau sering disandingkan dengan Luxun, sastrawan kenamaan dari Tiongkok yang juga telah menerbitkan banyak karya-karya terkenal.

Entah bagaimana ceritanya, saya ingat beberapa bulan lalu main ke Gramedia dan memutuskan “Mau beli novel klasik karya penulis Indonesia!” dan di rak yang saya lihat, berjejer buku-buku karya PAT.  Seri Tetralogi Buru yang terkenal terpampang jelas di bagian paling muka, berjejer apik.  Jelas, lagipula siapa sih yang tidak tahu film Bumi Manusia yang kapan hari rilis dan tokohnya diperankan oleh Iqbal Cowboy Junior?

Anyway, saya memutuskan untuk tidak membeli buku dari salah satu karya tetrologi tersebut.  Mata saya tertuju kepada salah satu buku dengan ketebalan yang jauh tipis dibandingkan buku-buku lain.  Judulnya, Bukan Pasar Malam.  Oke, saya beli yang ini.

Sudah lama sekali sejak kali terakhir saya membaca karya yang menggunakan sudut pandang pertama “aku”.  Biasanya sih, sudut pandang ini masih umum digunakan oleh penulis-penulis fanfiction di Wattpad.  Namun biasanya untuk penulis novel kawakan baik dalam maupun luar negeri, hamper sebagian besar menggunakan sudut pandang ketiga serba-tahu.

Buku ini mengisahkan “Aku” yang namanya tidak diketahui secara utuh.  Dalam buku, ia beberapa kali disapa sebagai “Gus”.  Siapakah ia?  Bagus?  Agus?  Gustav?  Entahlah.  Intinya, ia adalah putra sulung dari sebuah keluarga berukuran besar.

Sosok “aku” ini sudah berada di perantauan (Jakarta) selama beberapa tahun.  Sudah beristri, namun baru mendapatkan pekerjaan sehingga keadaaan finansialnya tidak begitu bagus.  Ia menerima surat dari pamannya di Blora, memintanya untuk pulang karena kondisi kesehatan ayahnya tidak baik, dengan pesan tersirat ‘kau harus datang, waktu ayahmu tidak banyak lagi’.

Akhirnya pulang, membaca diajak menyelami kegundahan yang dialami “aku” sebagai seorang pemuda berusia 25 tahun yang berhasil hidup melewati perang antara Indonesia dengan Belanda dan Jepang.  Ada kilas balik mengenai perang, dan kesusahan yang harus dihadapi keluarganya untuk bertahan hidup.

Kemerdekaan Indonesia bukan jaminan bahwa seluruh rakyat hidup makmur.  Buktinya, ayahnya yang berprofesi sebagai guru sudah lama tidak menerima gaji.  Adik-adik “aku” berjumlah tujuh orang, ada yang masih kanak-kanak.  Adik ketiganya terkena TBC sehingga dalam keluarga itu, ayah dan putrinya sama-sama tergeletak lemas tak berdaya di atas kasur.

Rumah keluarga “aku” sudah tua dan miring.  Keluarga itu sudah kehilangan kakek, nenek, dan ibunya sehingga ketika ayahnya sakit, rasanya seperti kehilangan pilar penopang.  Barulah ketika “aku” pulang, rasanya seperti air penyejuk dahaga bagi seluruh keluarga.  Mereka tidak hanya bergantung secara finansial kepada “aku”, namun secara emosional pula.

Inti utama dalam buku ini ialah bagaimana “aku” menjalani hari-harinya dengan melihat ayahnya yang makin hari makin sekarat, dipenuhi tanggung jawab dan beban berat sebagai tulang keluarga yang baru, dan posisinya sebagai anak sulung yang menjadi batu sandaran bagi seluruh adik-adiknya.

Pertanyaan terbesar “aku” sepanjang buku ini berpusat pada “Mengapa keluarga kami bisa jatuh terjerat kemiskinan seperti ini?  Apa yang bisa kulakukan untuk keluargaku?  Mengapa rasanya banyak hal yang disembunyikan oleh Ayah?”  Usut punya usut, “aku” baru bisa mendapatkan seluruh jawaban tersebut setelah ayahnya mangkat.  Sosok ayah yang tidak pernah ia pahami, ternyata adalah nasionalis yang sampai akhir hayatnya menolak jabatan tinggi yang diberikan oleh Belanda, semata-mata karena ia adalah sosok berintegritas yang tidak ingin terjebak dalam dunia politik yang penuh kecurangan.  Ia mengabdikan diri menjadi guru, dalam usaha keluarganya mereka berbaik hati mengizinkan warga untuk ngebon; tapi semua itu tidak menghasilkan balas budi dari teman, kerabat, dan warga desa Blora.

Lantas mengapa judulnya Bukan Pasar Malam?  Ini menggambarkan situasi di rumah keluarga “aku” sesudah ditinggal mati oleh ayahnya.  Banyak tetangga dan teman yang datang melayat, dan keramaian tersebut membuat “aku” berkata dalam batinnya bahwa “Ramai ini bukan pasar malam, namun disebabkan oleh ayahku semata.”

Skor pribadi saya? 8 dari 10.  Buku ini realistis, dan ini menjadi salah satu daya tariknya.  Saya lumayan lelah dengan cerita-cerita yang memiliki nilai moral ‘kebaikan akan selalu dibalas dengan kebaikan’, ketika dalam kehidupan  nyata, kenyataan tidak segampang ucapan tersebut.  Bagi orang-orang susah dan miskin, susah untuk bisa hidup keluar dari jerat kemiskinan.  Konflik batin yang dialami “aku” sebagai seorang anak, seorang suami, seorang kakak, dan seorang putra sulung sangat mengena.  Mungkin karena saya anak sulung juga kali ya?  Jadinya bisa lebih relate.

Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca, hitung-hitung sebagai tambahan bacaan karya PAT karena karya yang ini tidak sepopuler karyanya yang lain.  Kesannya?  Wah intinya sampai sekarang saya jadi overthinking masalah keluarga dan finansial setelah membaca buku ini, hiks L



Komentar

Popular Posts