Pendapat Orang Jawa Mengenai Bahasa Jawa (1/?)
Bahasa memiliki peran yang sangat penting
dalam kehidupan saya. Porsi besar dalam
hidup saya ditempati oleh hal-hal yang berhubungan dengan bahasa, dan saya
yakin di masa yang akan datang saya akan terus menggeluti bidang humaniora ini.
Saya termasuk orang yang ambisius sekaligus moody dalam belajar bahasa. Kerap kali motivasi belajar saya didorong sepenuhnya oleh rasa ketertarikan yang singkat. Bisa juga karena suatu peristiwa atau influensi dari film/buku. Kalau harus mengomentari diri saya sendiri, saya akan mengatai sosok ambisius saya ini sebagai seseorang yang ndableg (nakal/bandel, dalam bahasa Jawa). Jadi orang kok mudah hilang fokusnya? Jadi orang kok gampang bosan?
Setelah introspeksi diri, saya baru sadar
kalau belajar bahasa versi saya itu harus dilakukan dalam jangka panjang dan
tidak disertai paksaan. Sekarang saja,
saya menemui titik jenuh dalam belajar bahasa Mandarin, ya karena mau tidak mau
saya harus menekuni bahasa ini untuk keperluan kuliah. Sepanjang berkuliah, saya sering curhat ke
dosen kalau saya suntuk parah dan lebih tertarik ke bahasa-bahasa benua Eropa
seperti bahasa Jerman, Spanyol, dan Prancis.
Dosen yang mendengar curhat saya menjawab dengan tegas, “Save your interest later. Fokus dulu sama bahasa yang wajib kamu pelajari
sekarang.”
Awalnya saya tersinggung karena merasa
tidak dihargai. Namun, seiring dengan
situasi dan mood, pikiran saya juga
sering berpindah pihak. Ketika saya
lelah memelajari bahasa-bahasa Asia timur, saya akan memuji bahasa-bahasa Eropa
yang menggunakan tulisan latin dan memiliki kompleksitas tata bahasa yang rumit
pun menarik untuk ditelusuri. Ketika
saya sedang semangat belajar bahasa Asia, saya akan memuji indahnya
aksara-aksara dan arti kata dalam bahasa Jepang, Korea, dan Mandarin. Walau bisa dibilang saya plin-plan,
setidaknya saya tahu kelebihan dan kekurangan masing-masing bahasa.
Tidak hanya itu, kuliah juga membuat saya
bertanya-tanya tentang identitas saya.
Sebetulnya saya ini siapa? Dari
mana dan bahasa apa yang saya gunakan?
Faktor daerah bisa menjadi alasan utama
terhadap pertanyaan tersebut. Sejak
kecil sampai akhir SMA, saya selalu tinggal di Jawa Timur dan hidup di
masyarakat sebagai suatu mayoritas.
Tentu, saya memiliki teman dan relasi yang non-Jawa, namun hal tersebut
tidak berpengaruh besar terhadap pola pikir dan bahasa yang saya ucapkan. Semenjak pindah ke Bandung untuk menempuh
pendidikan, saya baru merasakan culture
shock. Hal ini yang membuat saya
mempertanyakan jati diri.
Menjadi orang Jawa di tengah-tengah komunitas
mayoritas Sunda dan Peranakan, saya menjadi bangga terhadap identitas saya yang
mencolok. Saya belajar mencintai
asal-usul keluarga saya. Dalam diri saya
timbul pula dorongan untuk melestarikan literasi bahasa Jawa yang tidak
dimiliki oleh kebanyakan orang muda dewasa ini.
Pada semester tiga, timbul penyesalan klasik tentang ‘mengapa saya
mengambil jurusan ini’.
Tapi serius, deh. Bahasa-bahasa sekelas bahasa negara yang
taraf penggunaannya sudah internasional (Mandarin, Inggris, Prancis, Jepang, Belanda,
dll) itu mudah untuk dipelajari. Ada
banyak video dan les daring di internet, ada banyak modul di toko buku yang
bisa dibeli sebagai panduan untuk belajar bahasa-bahasa tersebut. Lantas, apa hal yang sama ada dalam
pembelajaran bahasa Jawa? Tidak! Tidak ada les daring untuk belajar bahasa
Jawa, dan satu-satunya buku panduan berbahasa Jawa hanyalah pepak dan
kamus. Jika ingin belajar, harus
benar-benar belajar dari penutur aslinya.
Dan tentu, jumlah orang yang memelajari Jawa asli (tiga tingkat, dari
krama inggil sampai ngoko) makin hari makin sedikit.
Saya masih ingat jelas, saya pernah punya
pikiran “Harusnya ambil jurusan kuliah bahasa Jawa/Nusantara aja ya,” karena
jurusan bahasa-bahasa tingkat bahasa
negara kebanyakan ada di universitas-universitas
seluruh dunia, sedangkan jurusan bahasa Jawa/Nusantara ya hanya ada di
universitas yang letaknya di Indonesia.
Jangankan jurusan, seandainya saya laki-laki mungkin saya akan
mempertimbangkan untuk mendaftar sebagai abdi dalem di keraton Yogyakarta atau
keraton Solo.
Saya lupa pernah dengar kalimat ini di
mana, namun saya harus akui kebenarannya, bahwa ketika kita berada di luar
rumah atau daerah, rasa patriotisme terhadap asal kita justru semakin kuat.
Tidak hanya identitas diri saja, saya
sebetulnya juga prihatin terhadap kemampuan berbahasa anak-anak muda seumuran
saya dewasa ini. Indonesia dinyatakan sebagai
negara trilingual oleh salah satu aplikasi keyboard yang pernah melakukan survei. Orang Indonesia menguasai bahasa ibu (umumnya Jawa), Indonesia, dan Inggris. Menurut saya, pencapaian ini bisa jadi hanya sementara
karena nyatanya banyak yang bahasa ibunya langsung bahasa Indonesia, bukan
bahasa daerah/etnis. Saya bisa
menyebukan banyak nama teman yang bisa tidak memiliki kemampuan berbahasa daerah/etnis. Ya, bukan salah mereka juga kalau tidak bisa menggunakan bahasa daerah setempat atau
bahasa etnis mereka.
Indonesia juga makin terbuka dengan
pernikahan lintas suku dan kewarganegaraan.
Di satu sisi, hal ini membuka peluang serta membunuh peluang bilingualisme/trilingualisme secara
bersamaan. Tidak semua rumah tangga memiliki
kepedulian terhadap kemampuan berbahasa seorang anak. Ada saja rumah yang terdiri atas ayah dan ibu
yang memiliki bahasa ibu berbeda namun memilih jalan tengah untuk mendidik
anaknya, entah dengan bahasa Inggris atau Indonesia. Ada
pula yang ingin anaknya menguasai setidaknya satu dari bahasa ibu orang tuanya. Tapi ya
tergantung kondisi di lingkungan seseorang tinggal juga sih. Bahasa yang digunakan oleh teman-teman dan
daerah tempat tinggal.
Saya bersyukur karena
saya hidup di keluarga yang masih menggunakan bahasa Jawa sebagai lingua franca bersamaan dengan bahasa
Indonesia. Jawa pun kaya dan unik,
lho. Jawa yang saya gunakan ketika
berada dengan keluarga dari Ibu adalah bahasa Jawa Timuran. Ketika berada dengan keluarga Ayah, saya
menggunakan Jawa Tengah khas daerah Solo.
Saya juga bersyukur sekali karena bisa menggunakan Jawa ngoko (karena
pengaruh pergaulan dengan teman-teman sebaya) dan masih bisa menggunakan Jawa
krama inggil (karena berkomunikasi dengan kakek-nenek).
Jujur, bahasa ibu saya
bahasa Indonesia karena orang tua mengajari saya bahasa ini. Inggris dipelajari seiring tumbuh dan belajar
di sekolah, sedangkan Jawa muncul-muncul sendiri karena pengaruh
lingkungan. Semenjak kuliah, saya sering
banget protes ke orang tua, “Kok aku nggak pernah diajari bahasa Jawa yang
bener, sih? Kosa kata Inggilku kan
sedikit jadinya.” Haha, inilah efek
menjadi minoritas. Akhirnya saya jadi
makin cinta terhadap bahasa dan kebudayaan suku saya.
Walaupun suku Jawa adalah
suku terbesar di Indonesia yang berjumlah 40% dari seluruh penduduk negara ini,
saya merasa bahwa nanti akan ada saatnya bahasa ini makin sedikit penuturnya
dan bisa punah. Semoga hal ini hanya
ketakutan belaka, semoga tidak terjadi.
Ngomongno bahasa Jowo iki
‘jan seru. Timbangane basa liyo, aku
ngeroso nduwe hubungan sing luwih jero, luwih intim dibandingno lek aku ngomong
nganggo basa liyo.
Part two of me talking
about all things Javanese, coming soon!
Komentar
Posting Komentar