Menjadi Penulis Lepas Abal-Abal Itu Susah



Menjadi Penulis Lepas Abal-Abal Itu Susah.  Butuh Keberuntungan.
aquicknap.blogspot.com



(dalam foto: Teh hijau disajikan dalam set cangkir keramik hijau dengan donut matcha.  Waktu ngeteh sore hari terbaik yang pernah saya alami)

Saya hanyalah seorang mahasiswa yang berusaha mencari publikasi untuk kepentingan masa depan (CV) saya.  Publikasi yang paling mudah dilakukan adalah dengan menulis artikel di situs berita.  Namun sayangnya, hal tersebut tidak semulus dan semudah yang saya bayangkan.
Butuh yang namanya keberuntungan agar artikel yang ditulis bisa diunggah oleh editor.  Walaupun keberuntungan bukan segalanya terlepas dari faktor isi penulis dan timing, tapi keberuntungan juga menentukan.


Ada kalanya artikel yang saya tulis tidak diunggah.  Entah karena tidak menarik atau bagaimana.  Namun artikel yang sama saya coba masukkan ke situs lain dan diunggah.  Padahal kalau saya cek lagi, artikel yang saya tulis sudah memenuhi syarat dan kriteria di situs pertama.  Hm, masalah preferensi?

Sudah setahun saya mendaftar menjadi penulis lepas di situs pertama tadi, namun artikel saya yang diunggah baru ada lima.  Ya, terkadang melelahkan juga.  Terutama ketika melihat ada begitu banyak artikel saya yang pending dan tidak mendapatkan kejelasan apa-apa.

Mengalami hal ini, saya jadi sedikit menyesal.  Harusnya saya sudah mulai aktif mencari publikasi semenjak SMA.  Saya sadarnya baru ketika sudah kuliah dan sekarang malah kalang kabut dan kecewa terhadap diri sendiri kalau artikel yang saya tulis gagal.  Andai saya bisa mengulang masa SMA, saya akan menekuni bidang menulis ini.  Toh, di waktu itu juga sudah ada platform yang mumpuni seperti sekarang.

Saya juga sepertinya tengah mengalami krisis ini: apakah saya benar-benar seorang penulis?  Definisi penulis sendiri sebetulnya tidak menentu.  Apakah penulis itu harus seseorang yang pernah dan terus mempublikasikan karyanya?  Apakah seorang kutu buku di sekolah yang hanya menulis draft novel di laptop dan tidak pernah mengunggahnya juga disebut penulis?  Apakah seorang penulis fanfiksi yang menggunakan visualisasi dan nama tokoh nyata itu disebut penulis?  Apakah seseorang yang setiap hari hanya menulis jurnal harian dalam buku diari disebut penulis?

Menurut saya, penulis adalah seseorang yang memang mendeklarasikan dirinya sebagai penulis.  Apakah pendapat orang lain penting?  Penting, namun menurut saya tidak harus menjadi bagian dalam keputusan diri sendiri.

Saya suka heran dengan orang-orang yang sama seperti saya, namun artikelnya lebih cepat dan banyak terbit di media massa.  Terkadang yang saya sayangkan, materi tulisan mereka tidak begitu ‘berbobot’.  Mengapa mereka yang diunggah, saya tidak?  Betapa beruntungya mereka?

Ah, namun saya bisa apa.  Saya akhirnya sadar, banyak orang yang terjun ke dunia blog karena mereka bebas menciptakan konten mereka sendiri.  Mereka pulalah admin atau ‘tuhan’ dalam blog mereka, bebas menentukan mana yang hendak diunggah.

Melihat betapa saya tidak terlalu sukses dalam dunia menulis di media massa, sepertinya saya harus kembali setia kepada blog pribadi saya ini.  Ya, sapa seperti judul blog saya, tempat ini adalah private haven.  Tempat yang bisa saya atur sesuka hati dengan konten apa saja yang saya mau.

Tidak, saya tidak akan menyerah dalam karir menulis di media massa saya.  Walau, harus saya akui hal tersebut melelahkan.  Namun saya ingin lebih banyak menulis dalam blog pribadi saya.  Menyediakan konten rutin layaknya mengurus sebuah situs yang rajin dikunjungi oleh orang setiap hari.

Bagi kalian yang membaca tulisan ini, mungkin ada di antara kalian yang sama-sama memiliki ketertarikan dalam bidang menulis seperti saya.  Saran saya, menulislah.  Menulislah dengan lepas, tanpa peduli kata orang atau harapan palsu dari editor.  Ada baiknya menulis dengan tujuan yang jelas.  Karir menulis saya di media massa pure hanya untuk mencari publikasi dan bayaran.  Mungkin ini yang membuat saya selalu tertekan.  Sedangkan menulis di blog ini benar-benar untuk mencurahkan isi pikiran.  Dan saya merasa paling bebas berada dalam wilayah ini.  Menulis cerita fiksi juga saya lakukan untuk menuangkan adegan dan ide belaka.  Hanya untuk kesenangan dan hiburan.  Ada kalanya saya mengikutsertakan tulisan tersebut ke lomba, dengan harapan kalau saja beruntung saya akan mendapat hadiah.

Saya sadar mengapa saya suka menulis.  Saya menulis karena saya tahu bahwa meskipun ada banyak orang di Indonesia dan di dunia yang pandai menulis, saya tetap ingin menulis.  Hanya dalam menulis, saya tidak takut tersaingi.  Mungkin ini bisa menjadi pedoman bagi orang lain?  Bahwa ketika seseorang menemukan suatu bidang dan sadar bahwa peluang untuk sukses dalam bidang itu sedikit, orang tersebut masih mau melakukannya.  Mungkin itu yang disebut sebagai passion.

Sidoarjo, 3 Februari 2020.


Komentar

Popular Posts