[Film Review] Schindler's List, Film Monokrom Sarat Makna

If you have a black-white film but with a legendary theme, add a handsome actor as the main character plus Stephen Spielberg as the director and BOOM!  You got a Grammy award trophy.

Dulu ketika saya masih kecil, saya menganggap bahwa hal yang paling mengerikan di dunia ini adalah hantu.  Hal ini terdengar lumrah, waktu itu saya sama seperti balita-balita normal yang ditakut-takuti oleh cerita jin dan hantu oleh orang dewasa.  Seiring dengan waktu, saya tidak tumbuh menjadi tidak takut pada hantu, dan justru berpikir bahwa binatang buas adalah hal paling kejam.  Hal tersebut mungkin dipengaruhi oleh kebiasaan saya yang sering menonton DVD BBC dan National Geography serta kanal Discovery Channel di TV.  Tapi kini saya tahu, hal terburuk yang pernah ada di muka bumi ini ialah manusia.




Genosida memilukan yang didalangi oleh sosok pemimpin Nazi bertangan besi ini banyak diceritakan, kalian tinggal cari di internet dan boom! Gambar dokumentasi asli, autobiografi, video kesaksian survivor, semua sudah tersedia.
Film bertemakan Perang Dunia terutama tentang Holocaust ada banyak.  Mulai dari produksi Amerika, Prancis, Polandia, Jerman.  Saya pernah melihat beberapa film Holocaust di mana orang-orang di dalam film berbicara full American English, François, dan Deutsche.  Ya, tergantung negara asal produksi film memang.  Tapi memang menurut saya paling pas lihat dalam bahasa asli karena feel-nya lebih dapat.  Momen tegang ketika tentara Nazi berteriak “Achtung!” beneran terasa.
Dari film-film itu, mungkin yang paling terkenal Schindler’s List.  Karena nggak main-main, film ini disutradarai oleh sutradara Hollywood kondang; Steven Spielberg.  Aktor yang berperan menjadi tokoh utama juga orang dengan reputasi bagus; Liam Neeson.

Sebetulnya saya sudah tahu film ini beberapa tahun yang lalu, tapi Cuma sekadar “Oh film judulnya itu, tentang pembantaian perang dunia kedua.” That’s it.  Tapi beberapa bulan yang lalu ketika saya sedang melihat Abnormal Summit (entah episode berapa saya lupa), salah satu panelis di acara tersebut mengungkit film ini dan kesalahan yang ada di dalamnya.  Sejak saat itu saya bertekad untuk melihat film ini.



Satu hal yang mau saya bilang, saya jamin kalau kalian lihat film ini soundtrack-nya kebayang-bayang terus di kepala!  Orkestra yang (kayaknya) muncul di hampir setiap adegan memilukan dalam film ini benar-benar punya efek yang bisa bikin baper kalau kita dengerin.  Baper di sini maksudnya sedih dan perasaan jadi mellow.
Here’s a preview:



Oskar Schindler adalah seorang pengusaha Jerman dalam bidang manufaktur logam.  Ia memiliki pabrik yang memproduksi engsel pintu, panci, dan peralatan dari besi-logam.  Sama normalnya dengan seorang wirausahawan biasa, ia berusaha memperoleh banyak keuntungan dalam bisnisnya.  Seluruh pekerjanya adalah orang Yahudi.
Chancellor Jerman pada saat itu, Adolf Hitler, memerintahkan agar setiap orang Yahudi dikumpulkan untuk dicatat namanya, dirampas harta bendanya, dan dibunuh.  Hal ini segera dilaksanakan dan para pekerja di pabrik Schindler tidak luput.  Nama mereka dicatat dan mereka diambil paksa oleh tentara Nazi.
Film ini menceritakan kekejaman yang dialami para pekerja Yahudi selama menjadi tahanan sampai dengan pembantaian massal yang dilakukan tentara Nazi, serta usaha Schindler untuk merebut kembali para pekerjanya dari tangan Nazi.

Film ini rilis tahun 1993 di mana film berwarna sudah lama eksis.  Uniknya, hampir keseluruhan film ditampilkan hitam putih.  Adegan berwarna hanya ada di awal film (Hanya beberapa detik sebagai intro), dan di akhir film sebagai epilog.  Tapi menurut saya film ini sama sekali tidak membosankan walaupun ditampilkan dengan warna monokrom.  Justru menurut saya Spielberg melakukan langkah yang benar dengan merekam film hitam putih untuk film ini.  Kenapa?  Karena banyak adegan eksplisit yang melibatkan darah.  Dan menurut saya, yah… setidaknya tidak begitu mengerikan.  Efeknya sama seperti melihat darah Wanna One yang berwarna emas atau darah Unicorn yang berwarna perak.  Rasanya seakan-akan itu bukan darah… yak arena warnanya ditunjukkan bukan merah.

Alasan lain?  Hitam putih adalah warna yang paling tepat menggambarkan keadaan mental orang-orang pada masa itu.  Keduanya melambangkan jiwa manusia yang tidak berwarna, tidak bergairah, tidak berhati.
Yang patut diacungi jempol ialah efek tembakan, kucuran darah, mayat, dan banyak hal-hal minor lain yang terlihat sangat nyata.



Selain eksplisit dalam hal kekerasan, ada pula  nudity.  Ada dua adegan ranjang yang ditampilkan dengan jelas.  Hanya sebatas bercumbu dan berpelukan, durasinya pun tidak lama.  Tidak hanya adegan ranjang, ada juga bagian di mana para orang Yahudi harus melalui seleksi.  Yang dianggap sehat akan dibawa menjadi pekerja, yang dianggap sakit akan dikumpulkan dan… dibunuh.  Bagaimana cara memilah antara sehat dan tidak sehat?  Mereka harus telanjang bulat sambil berlari-lari di lapangan.  Terdengar kejam, tapi penonton akan dibuat meringis prihatin melihat betapa kurusnya orang-orang tersebut tanpa pakaian mereka.




Nilai bagusnya selain penggambaran situasi yang realistis, film ini berhasil membuat saya lebih respek dan menghormati sejarah.  Penonton benar-benar di bawa ke situasi mencekam pada zaman tersebut.  Nantinya kita akan diajak bertualang melalui perjalanan tiap karakter.  Kita akan mengetahui bagaimana Schindler berusaha keras untuk menyogok atasan dan petugas Nazi untuk menyelamatkan pekerjanya, bagaimana Itzhak sang tangan kanan Schindler bekerja tanpa lelah melayani tuannya tapi pada saat yang sama terdesak atas kesetiannya pada kaumnya, bagaimana perjuangan seorang anak kecil berlari dari kejaran tentara Nazi, serta perjuangan dari karakter-karakter lain.  Usaha Spielberg untuk memasukkan penggalan-penggalan kata dan kalimat dalam bahasa Jerman juga perlu diapresiasi karena hal tersebut membuat film ini tidak berkesan terlalu ‘Amerika’.

Kelebihan lain ialah adanya selipan dark humor.  Miris, tapi harus diakui benar.  Lucu, tapi tidak lucu.  Ocehan-ocehan kecil yang ada dalam film ini menjadi pencair suasana untuk sejenak kala film hendak/tengah memasuki adegan serius.

Kekurangan dari film ini?  Apakah durasi yang lama termasuk kekurangan?  Mungkin, bagi sebagian orang.  Tiga jam bukan waktu yang sebentar.  Untuk sementara saya belum bisa menemukan kelemahan dalam film ini karena setiap kali menonton, saya benar-benar menikmatinya.
Menikmati apa?  Menikmati hati saya yang ikut mati bersama dengan orang-orang yang terbunuh pada waktu itu.



Skor pribadi: 9.5/10 Highly recommended


Silahkan dilihat (bagi yang tertarik dengan film bertema sejarah).  Kalau anda bukan penggemar genre film ini, mungkin yang ada ketika di tengah-tengah cerita, filmnya yang menonton anda alih-alih anda yang menonton film hehehe.

Coming up next: Film Review of Fury (2014)










***JANGAN DIBACA KALAU TIDAK INGIN SPOILER***






Satu hal yang membuat saya kecewa terhadap film ini, adalah betapa fiktif karakter sang Schindler.  Di pertengahan hingga akhir film, ia berjuang untuk menyelamatkan pekerja pabriknya dan berakhir menjadi orang yang tulus ingin menyelamatkan kehidupan para Yahudi.  Nyatanya?  Istri dari Schindler menulis sebuah buku pengakuan, dalam wawancara dengan banyak media ia juga mengatakan bahwa film tersebut benar-benar fiktif belaka.  Berdasarkan perkataan istrinya, Schindler sampai akhir hayatnya hidup dalam ketamakan.  Ia menyelamatkan para Yahudi benar-benar dengan alasan bisnis belaka, bukan karena hatinya tersentuh oleh rasa kemanusiaan.

Ya, mau bagaimana lagi.  Namanya juga film, pasti ditambahi bumbu-bumbu penyedap agar para penonton puas dan kru produksi bisa meraih keuntungan timbal balik.

Komentar

Popular Posts