Break down


Selalu ada waktu di mana ketika saya merasa down, saya akan mengatakan "Ah, ini adalah titik terendah sepanjang hidup."

Kenyataannya?  Tidak.

Akan selalu ada situasi baru yang lebih parah, lebih menekan, lebih mencekik dari yang sebelumnya.

Ketika saya kelas satu SMP, saya merasa dunia seakan hancur ketika saya meraih peringkat 21 dari 27 orang di kelas.  Saat itu saya tidak memiliki wajah untuk masuk dan berinteraksi dengan teman-teman sesudah pembagian rapor.

Bagi saya saat itu, itulah titik terendah saya.

Ketika saya kelas tiga SMP, saya bingung menentukan
pilihan SMA dan harus rela fokus belajar untuk tes masuk SMA unggulan di kota.  Saya sempat suntuk, terlebih ketika mendengar bahwa sebagian besar teman-teman saya memperoleh bangku di SMA yang terkenal dan masuk kelas unggulan.

Bagi saya saat itu, itulah titik terendah saya.

Ketika saya kelas satu SMA, saya mengalami cek-cok dengan salah satu anggota tim debat saya.  Dalam lomba, kami tidak bisa bekerja sama, dan yang ada justru mempermalukan diri sendiri karena kalah telak dari tim lawan.  Keluar dari ruang debat saya langsung menangis.

Bagi saya saat itu, itulah titik terendah saya.

Ketika saya kelas dua SMA, untuk kali pertama dalam hidup, saya mempunyai masalah dalam kehidupan sosial.  Kubu dan pihak, kata-kata manis dan sindiran setajam pedang.  Saya tidak ingin berteman dengan siapa-siapa.

Bagi saya saat itu, itulah titik terendah saya.

Ketika kelas tiga SMA, saya dikejar oleh target pribadi meraih nilai tinggi.  Belum lagi persiapan masuk universitas.  Satu tahun selama berada di kelas tiga SMA, saya sangat jarang bersantai atau berjalan-jalan, setiap hari belajar, belajar, belajar.  Tidur tidak cukup, dan hati selalu dipenuhi rasa gelisah.

Bagi saya saat itu, itulah titik terendah saya.

Hal yang menakjubkan (dan masuk akal), ialah ketika saya mengalami 'titik terendah', saya selalu memikirkan 'titik terendah' yang sudah pernah saya lalui.

Ketika kelas dua SMA, saya berpikir "Ah, lebih baik mengalami ranking bawah seperti dulu, itu bisa diatasi."

Ketika kelas tiga SMA, saya berpikir "Coba kalau masalahku sekarang cuma sekadar cek-cok dengan satu orang saja.  Tidak serepot ini."

Ya, hebat bukan?  Saya yang sekarang bisa menganggap 'titik rendah' yang dulu sebagai suatu perkara kecil karena hal itu telah berlalu, dan saya bisa mengatasinya.

Beberapa minggu yang lalu, saya mengalami 'titik rendah' lagi.

Dan menurut saya, titik kali ini adalah titik yang paling rendah.

Kalau selama ini saya dipukul sampai jatuh ke tanah, mungkin sekarang rasanya saya seolah dipukul oleh tangan raksasa sampai tubuh terperosok ke dalam tanah lapisan ketiga.

Saya tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya.

Ini bukan masalah yang menyangkut orang lain, masa depan, ataupun materi.

Tetapi menyangkut pikiran dan present time.

Saya memang tipe orang yang sering over-thinking.  Tapi saya tidak pernah memikirkan sesuatu sampai stress.  Apalagi memikirkan diri sendiri sampai berlebihan.

Saya adalah tipe perencana.  Dan parahnya ialah ketika ada suatu hal yang tiba-tiba menginterupsi pemikiran saya, menyebabkan rencana yang sudah saya atur sedemikian rupa serasa tak berarti sama sekali.  Sampah.  Tidak berguna.

Ada banyak hal selama menjalani perkuliahan yang membuat hati saya terluka.  Salah satunya ada di postingan sebelum ini.

Awalnya satu masalah.  Menjadi dua, tiga, empat, menjadi banyak.  Menumpuk, makin lama makin banyak.  Dari sedikit menjadi bukit.

Selama ini selalu saya tutupi dengan bertingkah seperti biasa.

Sampai akhirnya ketika satu masalah datang lagi, tubuh dan pikiran saya tidak bisa menanggung beban tersebut.  Umpama tong minyak, masalah terakhir (yang sebetulnya bisa langsung diselesaikan) tersebut adalah korek api yang jatuh ke dalamnya.

Saya meledak.

Teman-teman terdekat saya mungkin tahu hal apa yang terjadi pada saya saat itu.

I looked like a dead person.

Saya lelah dengan hidup.

Lalu saya mulai berpikir, normalkah orang semuda saya mengalami hal seperti ini?

Who am I?  What is my purposes in life?

Saya benar-benar mengambil waktu untuk sendirian.

Dua hari penuh saya mengunci diri di dalam kamar, menangis dan berpikir.  Tidak menghubungi siapapun, hanya keluar untuk pergi ke kamar kecil.  Lapar pun hanya menelan sepotong roti.

It was worth it.

Dalam masa menyendiri tersebut, saya menemukan harapan untuk menjadi orang baru.
God spoke to me.

That I shall be fine, all I do is just believe in Him.

Saya bersyukur karena Tuhan mengizinkan saya mengalami stress yang parah.

Karena ketika saya jatuh terperosok begitu dalam, Ia mengajarkan saya untuk bangkit.

Saya kini merancang kembali masa depan saya.

Ya, saya masih memiliki sentimen tidak baik kepada beberapa hal.  Saya berusaha pelan-pelan untuk menghilangkan pikiran tersebut.

Saya sangat yakin bahwa pengendalian diri (terutama rasa iri) adalah hal yang susah.  Itu sudah naluri alami manusia.  Maka dari itu saya berusaha semampu mungkin untuk menjauh dari hal-hal yang menurut saya tidak baik bagi diri saya.  Seperti Instagram, misalnya.

Pasti ada orang yang berkata "Dasar baper kamu!"

Why yes, indeed, saya memang baper.  Tidak ada yang salah dengan menjadi seseorang yang bisa tersinggung atau kesal karena suatu hal.  Tidak ada yang salah dengan hal tersebut.  But I know how to take care of myself, so that's why I'm trying my best to handle it.

Ketika ada orang yang sedang mengalami masalah (terutama mengenai pikiran, perasaan, dan psikologis), mohon, jangan olok dia.

You'll never know how great the struggle is until you experience it yourself.

Setiap orang memiliki anjing hitam di dalam mereka.  Kadang mereka jinak dan dapat dikendalikan, ada waktunya mereka lepas dari rantai.  Silahkan google sendiri untuk mengetahui maksud dari black dog ini.

It is okay to experience something called 'mental breakdown'.
Take your time.  Know the things that caused bad and good influence on your life.
Take a deep breath, throw all things-relationships-materials that harms you.
Start a new beginning.



From Angga,
who managed to overcome her 'breakdown point', and will keep on doing it in the future. 

Komentar

Popular Posts